Mohon tunggu...
Apridhan Arga Khairi
Apridhan Arga Khairi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bercita-cita menjadi musisi, penulis, dan budayawan, namun tak cukup peka dan cerdas dalam merasakan dan menerjemahkan sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mari Mengenal Pantun Bima

3 September 2014   01:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:47 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lambang Kesultanan Bima Menurut Wikipedia, pantun merupakan salah satu jenis puisi lama dan dikenal luas di Nusantara. Biasanya, pantun terdiri dari empat laris atau baris yang bersukukata sama, bisa 8 atau 12 suku kata, dan berima a-b-a-b atau a-a-a-a. Di sana juga tertulis meski pantun merupakan tradisi lisan, tidak jarang juga pada jaman sekarang dijumpai dalam keadaan tertulis. Tidak salah memang, karena dalam kehidupan sehari-hari pantun digunakan sebagai salah satu lawakan, entah  itu di acara humor atau di tutup botol minuman bersoda. Yap, pantun memang terkenal dan sudah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Tapi itu pantun mainstream! Kok? Ya, karena itu digunakan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, bahkan mungkin rima a-b-a-b atau a-a-a-a digunakan juga dalam kesusasteraan entah oleh negeri yang dimana letaknya itu. Tahu pantun apa yang berbeda? Pantun Bima. Patu Mbojo (kadang disebut juga dengan Kapatu Mbojo) merupakan salah satu sastra lisan yang mengakar kuat di suku Bima, suku yang mendiami daerah Bima dan Dompu di ujung timur Pulau Sumbawa. Seperti halnya pantun Melayu, Patu Mbojo atau pantun Bima digunakan sebagai salah satu sarana dalam menyampaikan pesan dari si petutur. Nah, yang menarik dari pantun Bima ialah mempunyai struktur yang berbeda dengan pantun kebanyakan. Perhatikan contoh berikut yang saya ambil dari lagu Sodi Angi:

Na ini mbua si ri'ina, kuhaju ka'a sara'a
Na ciwi mbua rausi, mada kulondo rai.

Atau:

Dicua ngaha ndai cumpu boho oi ndeu
Ngenge kali cempe tanda bou ra campo.

Dalam pantun Bima, jarang sekali digunakan sampiran, malah kemungkinan tidak ada. Setiap baris atau kalimat merupakan isi dari sebuah pantun. Rimanya sendiri tidaklah berpatokan pada huruf vokal seperti pada pantun Melayu, malah rima pantun Bima terletak dalam satu baris atau kalimat. Penggunaan rima dalam pantun Bima berpatokan pada jumlah suku kata dan huruf konsonan yang sama pada setiap frasanya. Lihat kata yang dicetak tebal: ri'i - ra'a, rau- rai, ndai - ndeu, dan cempe - campo. Contoh lainnya:

Aina mbou ba laomu sambea
Aina hodi ba laomu sahada
Niki padasa dimai kai ba dosa

Di sana kita akan lihat pola rimanya ada di mbou - sambea, hodi - sahada, dan padasa - dosa. Pola rimanya mengambil dua suku kata dan konsonan yang mirip dengan kata di frasa pertama, tidak peduli rima tersebut ada di akhir atau di awal sebuah kata, contoh padasa - dosa dan hodi - sahada atau kebalikannya rausi - rai. Membuat pantun Bima mungkin tidaklah sulit, karena tidak menggunakan sampiran, sehingga apa yang ingin disampaikan petutur langsung merupakan isi, tanpa perlu memikirkan lagi sampiran yang mirip-mirip dengan isi. Bagian yang sulit tentunya menyamakan rima di tiap frasa. Petutur harus cerdas dan mempunyai banyak perbendaharaan kata dalam Bahasa Bima (Nggahi Mbojo). Bila terlalu sulit, bolehlah rima digunakan di tiap akhir baris atau kalimat. Saat ini, pantun Bima sering digunakan sebagai lirik dalam pagelaran ndiri biola ataupun biola katipu. Sering juga dalam lagu-lagu tak bermutu dari Bima lainnya.

Ndiri Biola (google.com) Nah, unik, bukan? Bukannya ingin menegaskan bahwa pantun Bima lebih baik dari pantun Melayu. Setiap kebudayaan memiliki keunikannya tersendiri dan tidak berarti satu kebudayaan berada di atas kebudayaan lainnya. Pantun Bima dan kebudayaan Bima merupakan salah satu kekhasan dan keanekaragaman dalam kebhinekaan Indonesia. Patut kita lestarikan tanpa perlu merasa superior atau malah inferior terhadap yang lain.
Tarian Wura Bongi Monca (google.com) Kekhasan yang dipunyai Bima ini patutlah dijaga dan diajarkan, bukan melulu diapresiasi tanpa kelanjutan yang tak pasti. Tradisi-tradisi Bima, kalau bukan generasi muda yang merawat dan mempelajarinya, akan segera hilang. Sedangkan tradisi, kebudayaan, seni, dan adat-istiadatnya merupakan identitas warga Bima (dou Mbojo). Kehilangan identitas adalah hal terburuk yang bisa dialami oleh dou Mbojo, tak ada lagi yang bisa dibanggakan. Marilah teman-teman belajar berpantun Bima, menyanyikan lagu Bima yang santun (bukan seperti yang beredar sekarang ini), menarikan lagi tarian Bima, bermain genda dan katongga, atau belajar gantao. Lihatlah teman-teman kita di daerah lain yang budayanya dicuri, jangan sampai budaya Bima pun ikut dicuri. Seharusnya kita malu hanya menuding bangsa lain yang mencuri budaya sebagai penjahat. Kita harus malu karena kita sendiri yang menyia-nyiakan budaya kita sedangkan orang lain malah melestarikannya; siapa yang lebih jahat?
Gantao (google.com) Daftar baca:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun