Mohon tunggu...
Apriastiana Dian Fikroti
Apriastiana Dian Fikroti Mohon Tunggu... Lainnya - Writer

Fullmom and wife, part-time writer and entrepreneur You can't read my mind, but you can "read" my mind

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

2020: Tahun Menakjubkan, Tahun Merefleksikan Kebahagiaan

31 Desember 2020   06:55 Diperbarui: 31 Desember 2020   07:00 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengilas balik tahun 2020, kusadari bahwa tahun ini begitu menakjubkan dan terasa lebih berat. Banyak hal tidak terduga yang terjadi tahun ini. Salah satunya, yaitu pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum juga usai. Ketakutan, kekhawatiran, dan perasaan tidak menyenangkan lainnya begitu mendominasiku sejak kali pertama muncul di Indonesia pada awal Maret lalu. Meski begitu, ada hal baik yang kulakukan bersama Mas (panggilan untuk suamiku, red) dan teman-temanku.

Tepatnya pada bulan Mei, aku dan beberapa temanku membuat Mommischology, sebuah platform edukasi kesehatan mental untuk ibu dan calon ibu berdasarkan Psikologi dan Islam. Sementara itu, Mas dan teman-temannya membuat Dapur Peduli Indonesia (selanjutnya aku menyebutnya Dapur Peduli), sebuah yayasan sosial yang kegiatannya membagikan nasi kepada kaum dhuafa dan orang yang membutuhkan lainnya. 

Lalu aku diminta Mas untuk membantunya di bagian keuangan. Melalui Mommischology dan Dapur Peduli ini, aku menemukan defini kebahagiaan lainnya bahwa kebahagiaan tidak hanya dirasakan ketika kita mendapatkan sesuatu, tetapi juga ketika kita dapat berbagi dengan apa yang kita miliki dan bisa lakukan.

Melalui Mommischology, aku dan teman-teman memberi ilmu melalui kuliah daring tematik dan kelas-kelas yang kami rancang dengan sedemikian rupa. Tentunya dengan tema-tema yang dibutuhkan para Momma (sapaan untuk anggota grup dan warganet Mommischology, red) serta menghadirkan pembicara yang mumpuni. 

Awalnya kami tidak begitu berekspektasi dengan respons para Momma usai mengikuti kegiatan kami. Namun, ketika membaca insight, resume, atau testimoni mereka di media sosial, rasanya ada satu kebahagiaan yang tidak bisa tergambarkan. Ada rasa haru yang tidak bisa kubendung. Tidak kusangka, ternyata merasakan kebahagiaan bisa sesederhana ini, yaitu ketika apa yang kita lakukan bermanfaat untuk orang lain, bahkan merasa terbantu.

Lalu, melalui Dapur Peduli, aku merasakan kebahagiaan melalui cara lain, yaitu berbagi nasi. Ternyata sebungkus nasi yang kami berikan dapat mengatasi satu kesulitan mereka. Setidaknya mereka tidak perlu memikirkan apa yang harus dimakan saat malam hari. Kebahagiaan itu pun terpancar dari raut wajah mereka. Meski aku dan Umar (nama anakku dan Mas, red) baru sekali mengikuti kegiatan bagi-bagi nasi, tetapi aku kerap mendengar cerita dari.

Seperti Malam itu, Mas bercerita tentang apa yang ditemuinya saat menjelang Maghrib. Saat itu, setelah mengelilingi kota, masih tersisa satu bungkus nasi dalam plastik yang Mas bawa. Akhirnya, Mas memutuskan untuk membawanya pulang sembari mengamati setiap sudut jalan yang dilewatinya. Singkat cerita, di tengah jalan Mas bertemu dengan seorang pemulung yang usianya sudah senja. Sembari memberikan nasi tersebut, Mas mengajak bicara Beliau. Ternyata Beliau tinggal di sebuah rumah kecil bersama dua orang cucunya. Rumah Beliau tidak jauh dari sana.

Mendengar itu, Mas kepikiran untuk melihat langsung rumah Beliau. Syukurnya, Beliau mau. Akhirnya, Beliau dengan menunggangi sepeda memulungnya, berjalan di depan untuk memberikan petunjuk. Sementara Mas, berada di belakang. Sesampainya di rumah Beliau, Mas begitu iba ketika mendapati rumah itu kecil dan sebenarnya tidak layak huni. 

Rasa iba itu semakin menjadi tatkala Beliau bercerita bahwa dua cucu yang tinggal bersamanya itu sudah tidak memiliki orang tua lagi. Sejak kecil, orang tua mereka meninggalkan mereka bersama sang nenek. Alhamdulillah, Beliau mau menyantuni dua cucunya tersebut, meski dalam keterbatasan.

Melalui Mommichology dan Dapur Peduli inilah aku kembali belajar kembali tentang definisi kebahagiaan. Jika banyak orang mendefinisikan kebahagiaannya ketika mendapatkan atau mencapai sesuatu, justru aku menemukan kebahagiaan ketika berbagi dengan orang lain. Berbagi tidaklah harus dengan barang mewah atau uang dengan nominal besar, tetapi juga dengan sesuatu yang kita miliki dan bisa dilakukan. 

Meski kita mengira itu kecil dan seperti tidak ada artinya apa-apa, tetapi bagi orang lain ternyata sangat bermanfaat. Jadi, ketika ingin berbagi, mulailah dari hal yang kita miliki dan bisa dilakukan. Maka, kebahagiaan itu pun akan kita rasakan dengan sebenarnya. Namun, yang perlu diingat adalah kita harus ikhlas dan tidak berekspektasi lebih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun