Mohon tunggu...
Apriansyah Yudha
Apriansyah Yudha Mohon Tunggu... wiraswasta -

"Asal mau berusaha, hidup akan memberikan segalanya" - Pramoedya Ananta Toer -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aruphadatu

5 September 2013   15:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:19 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aruphadatu

Dengan sikap mudra aku duduk bersila menghadap alam hijau yang terbentang di hadapanku. Menyatu dengan 504 arca lainnya aku terpaku. Warisan dunia ini bukan hanya sekedar warisan bagiku, ini lebih dari bekal menuju ranah tanpa wujud, arupadatu yang selama ini aku impikan sebagai tahap kesempurnaan seorang manusia, menjadi tiada. Tapi aku ada, berwujud, jadi aku tahu aku sedang tidak bermimpi. Jika saja aku adalah satu dari 504 arca ini, aku ingin  aku adalah srikandi yang kuncup dalam bungkusan stupa tertutup. Kekuatan hebat yang tersimpan dalam keanggunan amalaka, bagai kantung spora yang menyimpan energy kehidupan, sebagai rahim yang akan melahirkan hal yang luar biasa. Hanya saja aku mandul, aku belum mampu memfusi dengan alam, melebur bersama angin yg sekedar lewat apalagi membaca pesan yang mereka bisikkan. Dan lagi aku hanya seorang lelaki bingung dalam pelataran candi mewah, Borobudur nan indah, tak memiliki rahim. Ku perhatikan bangunan yang bisa ku perhatikan dari stupa yang sebenarnya tak boleh dinaiki tapi tetap nekat ku naiki. Hmmm… indah.  Pandangan ini terbatas, tak bisa ku lihat seluruh bangunan ini dari atas. Ku tengadahkan diri iini ke langit, magis rasanya berdiri di pelataran tertinggi, memikirkan kekerdilan kehidupanku, semua memori seperti relief yang otomatis tergambar berderet, bercerita kebodohan-kebodohan, dosa yang dipahat kuat dalam sejarah hidupku.  Miris, aku masih ragu menetukan arah, tersesat dalam ruang kamadatu, jiwaku terletak di ranahkamadatu, meskipun wujudku di arupadathu. Aku masih terpenjara obsesi yang kompulsif mengenai banyak hal duniawi. Sebuah Labyrinth, a maze of life.
“kau sudra, kau rendahan”
Candi seakan berbicara padaku. Aku mendengarkan. Aku mengakui. Entah dari mana suara itu berasal, ku pikir mungkin salah satu arca dalam bungkusan stupa.
“Jika sudra, deretan gambar mesum di kamadatu ,hawa nafsu dijadikan pondasi bangunan ini, bagaimana bisa bangunan ini dikatakan suci?”
“itu karma, ajaran Dharma paling dasar yang harus kau pelajari. Itu juga cerita manusia, selalu begitu adanya.. sebagai watak yang mengakar, kesenangan. Candi ini dibangun untuk memberi pelajaran pada siapapun, sutra yang tersirat untuk  siapapun yang menjadi budak hawa nafsu, akan tersadar. Kau tersadarkan wahai budak, kau kaum bawah”
“kau tau? Jika seluruh manusia mengikuti ajaran sang Budha. Takkan pernah ada regenerasi, takkan pernah ada keseimbangan. Bisa kau bayangkan, semua orang menjadi biksu? Gila.. Hubungan harmonis antara surga duniawi dan surga sebenarnya hanya sebatas kawat kaku, meditasi demi meditasi beku, dimana kehidupan menjadi hal yang statis. Dingin tak pernah dinamis”
“budak hawa nafsu, budak hawa nafsu. Aku bisa melihat aliran cakramu sedikit sekali yang mengalir di kening dan dada. Terpancar kuat warna merah dari area tulang ekor kelamin, selangkangan dan perut. Kau takkan bisa menjadi murid sang Budha, kau cacat sebagai manusia yang luhur. Cakramu masih kotor, sungguh perlu dibersihkan. Akan ku tarik aliran cakramu sedikit demi sedikit menuju anahata”
“tak perlu Ratnasambhawa, dia pengganggu. Dia primitive dari peradaban yang dia pikir modern. Tapi sebenarnya peradaban tolol penghancur alam”
Salah satu arca di stupa terbuka yang tak memiliki hidung menolehkan kepalanya padaku. Aku terperanjat dan derdiri terpaku di ujung pelataran stupanya, satu langkah ke belakang saja, aku akan jatuh.
“jangan cemari rumah ibadah ini, dengan kaki tanganmu yang kotor!” tangan sang arca yang dalam mudra aksobhiya, mendepak tubuhku hingga oleng hilang keseimbangan.
Aku jatuh. Bukkk! Tapi masih ku dengar dari atas sana, suara si arca tanpa hidung, pengheningan ciptanya terusik.
“kami merasa terganggu dengan kedatanganmu, pergi!”
“ku peringatkan kalian hey arca- arca dengan sikap yang berbeda, kalian butuh lebih dari sekedar duduk bersila, mematung diri seperti ini hanya ketololan dalam kehidupan zaman ini. Tak ada yang mau seperti kalian menjadi transendentalis tanpa pemikiran ilmiah”
“Hey, jaga ucapanmu!”
Kali ini dari arca di depanku, tangannya yang belum sempat ku lihat dalam sikap apa, telah terjulur panjang mencengkram tubuhku. Jemari batu yang besar mencengkram dari dada hingga pinggul.
“ah sakit, ku mohon. Apa kau lupa tubuhku ini hanya sekumpulan daging dan tulang belulang lemah. Lepaskan aku” kataku meringis.
“hargailah keilahian yang ada dalam dirimu, Om nama shivayah” dengan cengkaram sekeras batu, aku didudukan, jemarinya dari tangannya yang lain mengatur sikap dudukku.
“cepat katakan apa yang ku katakan hey manusia”
Om Nama Shivaya. Ulangi mantraku!”
“tidak! Aku bukan penganut ajaranmu. Menggelikan sebuah patung Budha memaksaku mengucapkan mantra Hindu”
Cengkraman itu makin melilit kuat, rangkaku bisa remuk jika cengkraman ini tak segera dilepas. Aku berontak. Sia sia. Aku berontak lagi. Sia sia lagi. Aku berontak kembali dengan sisa tenaga. Sia sia, tenagaku tak bersisa. Aku lemas.
“tak ada gunanya kau memberontak, manusia penuh dengan kelemahan. Tolong ucapkan mantra itu”
Dengan tatapan nanar campur pilu. Rasa sakit dari cengkraman sang arca yang makin kuat, bertransformasi menjadi rasa pahit. Lidah keluku pahit mengucapkan mantra.
Om Nama Shivaya” air mataku meleleh.
“sekali lagi”
Om Nama Shivaya” air mataku menderas
“Terus”
Om Nama Shivaya” sekujur tubuhku kelu.
“Om Nama Shivaya” ku dengar arca di sebelahnya mengucapkan mantra yang sama.
“Om Nama Shivaya” lagi dari arca lain, merembet hingga suasana magis itu diwarnai gaungan doa para arca yang menambah suasana magis. Semua mengucap mantra yang sama “Om Nama Shivaya”
Saraf saraf lidahku secara magis bergerak, mulutku seperti katup yang terbuka tertutup. Keluku berubah menjadi kaku. Kakuku berubah menjadi batu. Batuku berubah menjadi satu.
Om Nama Shivaya”
“om ram, om svar, namo saptanam samsaka budha kotinam jita. om jarah wijra kundi svahar om bhur om mani padme hum”
Lancar saja mantra itu terlontar. Seiring mantra yang terucap mantap, tubuhku menjadi telanjang bulat, sehelai kain berwarna entah apa melingkar dari bahu kanan hingga area genitalia menutup rapat. Aku seperti tertanam kuat dengan cengkraman tangan sang arca yang terus menatap, membaur dengan lantai tanpa atap. Batu batu di sekitar seperti tanaman rambat yang tumbuh berkembang melingkariku. Menjadi stupa setengah terbuka. Seakan sedikit tersadar, ah ini kalpataru. Sang pohon terus tumbuh dan merambat, merasupiku. Seperti tato berupa urat urat kapiler dan venaku menjadi akar pepohonan. Timbul.. lalu hilang dalam daging. Apa ini? Aku tak sadar seluruh diri ini menjadi bercahaya seperti matahari tengah terbit dari punggungku. Seperti aura yang bersatu padu, mengalir lancar dan bersih, aliran elektromagnetis yang indah membentuk spectrum cahaya matahari. Cakra dasar (mooladara) Cakra seks (swadistana)  Cakra Solar Pleksus (manipura) Cakra jantung (anahata) Cakra tenggorokan (visudhi) Cakra mata ketiga (ajna) Cakra mahkota (sahasrara) bersih menyatu. Memfusi. Sang Budha yang duduk diatas bunga padma. Stupaku tertutup. Tapi cahaya itu berputar, meluap meluap makin mengkilau terang...  Tubuhku terasa ringan , dengan mudra amitabhatubuhku melayag layang diatas padma. Subhanallah… kata itu terucap spontan. Dan sswiiiiiiiiiiiiish.. seperti kilatan cahaya, aku merasa tubuhku disobek sobek, seperti debu yang dihembus angin, seperti air yang menguap terbang, panas, lalu dingin lalu hangat lalu tak berasa apa apa, aku tahu aku ada, karena aku masih berpikir. Tapi aku tak berwujud, mana wujudku? Aku tak merasa punya kulit, perut, kepala, tangan, kaki, telinga, mata. Mana? Kemana mereka? Aku ada tapi aku tak berada. Aku yakin aku ada. Ingin rasanya aku menangis tapi aku tak merasakan mataku, apalagi kelenjar air mata. Aku merasa tapi tak berkulit, aku melihat tapi tak bermata, aku mendengar tapi tak bertelinga. Om Nama Shivaya.. hargailah keilahian dalam dirimu. Yang ku lihat hanya kilatan cahaya. Hangat. “ Om Nama Shivaya”  “innallaha ma’ana” kataku lirih..
Lalu semua tampak jelas dari atas, ku lihat tubuhku digotong. Dari lantai pelataran ruphadatu yang berceceran darah tempatku jatuh. Tak ada mata sembab, tak ada tangisan. Aku hanyalah sudra.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun