Mohon tunggu...
Apriansyah Yudha
Apriansyah Yudha Mohon Tunggu... wiraswasta -

"Asal mau berusaha, hidup akan memberikan segalanya" - Pramoedya Ananta Toer -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

KIAMAT

27 Agustus 2013   10:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:45 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

131213

2 minggu menjelang 131213.

“Salah gak sih kalo aku pengen setengah umat manusia ini musnah? Kiamat aja sekalian!!” Macet Jakarta memaksaku melontarkan kalimat itu. Dani menoleh dan memandangiku syahdu, gurat wajahnya sayu terlihat lelah, kami baru pulang dari kantor kami di daerah Menteng menuju kawasan BSD rumah kami. Lalu dia kembali mawas pada steer mobil yang membawa kami maju sangat perlahan, tersendat bagai nasib tak mujur.

“Coba kamu pikir, jika dihadapan kita 1000 orang saja yang mati detik ini juga, kita bakal bebas macet” ku pandangi Dani meminta respon.

Dia diam. Makin luap emosiku tak direspon.

“Lingkaran setan! Jakarta udah gak ada harapan lagi buat hidup! Sialan, kayak populasi sampah, tikus ama kecoak di selokan tau gak kita tuh! Harusnya dunia ini berterimakasih ama kita. Tidak mau dulu menambah sesak bumi dengan beranak pinak!”

Sepangjang perjalanan pulang yang menyita waktu hampir 3 jam, aku terus menggerutu dan Dani hanya meresponku dengan diam atau senyuman. Sementara pikiranku terus mengekstrak pil pahit Jakarta, dunia. Jelas, Dani mengerti benar mood-ku sedang benar benar kacau. Tekanan pekerjaan memuakkan. Jakarta membuatku makin sesak. Lebih sialnya lagi, aku tak bisa berbuat apa apa selain harus tunduk dicekoki semua kepenantan ini demi mempertahankan hidup. Apa boleh buat? Ditambah di kantor aku dikenal sebagai karyawan keras kepala yang seharusnya sadar dia memiliki bos, seharusnya juga lebih pintar mengatur emosi, namun memiliki sifat keras kepala adalah bom waktu menuju bunuh diri. Dan macet Jakarta seperti kabel biru pemicu ledak. Apa boleh buat, aku tak bisa keluar dari Jakarta untuk hidup lepas dari stress, apa boleh buat aku harus rela mampet di jalanan becek Jakarta. Apa boleh buat, aku harus mau mengalah dan nurut jadi alat kapitalis dialarang idealis, apaboleh buat aku harus menghidupi ibu di kampung, apaboleh buat aku harus bertahan, bertahan untuk tidak keras kepala. Apabolehbuat ini, apabolehbuat itu-apabolehbuat ini dan itu terus muncul di kepala sampai habis kesabaranku. Dan beginilah jadinya, Duar, emosi itu berhamburan. Sebuah pelampiasan. Dani.. maaf tapi aku sedang ingin menggugat dunia, walau biar hanya di mobil, biar hanya kamu yang setidaknya mengerti.

Ya, akan ku gugat dunia. Salahkah jika aku berpikir aku ingin sebagian dari umat manusia musnah? Akan sangat egois jika aku bukan salah satunya. Mati saja manusia yang tak berguna! Mati saja manusia manusia perusak! Serakah! Otakku tarus membentak bentak apapun yang terpikirkan dan datang ke kepala. Musnahkan saja aku jika aku juga tak berguna! mungkin dengan berkurangnya beban, bumi bisa bernafas dengan lega. Dia tidak akan menderita asma gara gara polusi, diperkosa oleh para lelaki kapitalis kurang jantan mengambil tanggungjawab setelah memperkosa alam, atau mendadak menderita stroke gempa bumi. Lebih parahnya lagi jika sifilis, aids, menggerogoti payudaranya yang segar, habis hingga paru paru dan jantung. Mati, kita mati!!!  bukan. Kiamat yang akan terjadi. Semua musnah? Aku musnah? Ku telan pil pahit itu. Pahit! Lalu? Konsekuensi dari mati? Apa jadinya aku nanti setelah mati? surga atau neraka? Harga mati. Terasa pahit! Kepalaku bergejolak. Tidak! Belum saatnya! Tidak ada yang mau jadi pahlawan yang berkorban sambil berdoa “matikanlah saja aku untuk melengangkan bumi”. Bodoh kau ini! Mati untuk kehidupan di bumi yang egois, sia sia seperti makan obat sambil minum susu. Sedikit ku sesali kebodohan yang tadi ku pikirkan. Terbawa emosi, aku hanya terbawa emosi lingkaran setan Jakarta! Alhasil kecemasanku menemaniku hingga kami sampai di rumah. Namun dengan melihat Dani, rerumputan hijjau di taman kami, bunga bunga yang tiap pagi ku siram, langit senja, dan matahari jingga. Semua membuatku ingin berlama lama hidup. Aku tak berani mati, bila aku belum merasa suci. Aku takut mati. Bukan karena tergiur surga, semua keindahannya terlampau jauh dari jangkauan imajinasiku. Aku hanya takut neraka. Dan siksaan yang kelak akan ku jalani. Aku percaya, tapi kepercayaanku berbuah paranoid, karena neraka terasa lebih dekat ketika ku bayangkan kematian.

Tolong pending dulu kiamatnya Tuhan, sampai aku merasa berani menghadapMu.

Lelah membawaku bersimpuh di sofa. Dani menjauh menuju kamar mandi di belakang. Ketenanganku ikut menjauh ke belakang. Kembali Dan, cepat temani aku disini. Pikiranku kembali Gamang…

Menyoal kiamat, ini soal kiamat. Seperti kebakaran jembut, aku dirundung cemas yang amat sangat. Teringat perbincangan santai di kantor tadi. Ringan keluar dari mulut para pegawai mengenai 131213 adalah akhir dunia. Hoax ini mulai menyebar dari tahun lalu, tapi di tengah kesibukanku yang ekstra gila, selentingan kiamat di kantor seakan mengingatkanku kembali tentang hari ini. 2 minggu lagi kalau begitu. Bumi bakal hancur, dan aku masih hidup sebagai pendosa. Layaknya ular tau dirinya berbisa, dosa bagai racun ketenangan. Rasa cemas seketika mulai menyergap, saat itu aku tak bisa focus bekerja. Bagai diseret paksa ke masa lalu, semua dosa berderet panjang lalu berkumpul menjadi luapan luapan asa yang membungkus diri. Khawatir tentang siksa neraka, mati dengan derita atau menikmati derita kiamat yang ku bayangkan tak terkira.

Tolong pending dulu kiamatnya Tuhan, sampai aku merasa berani menghadapMu.

Lalu Dani  muncul di hadapanku. Ku tatap wajah teduh Dani. Dani, tolong aku Dan… Dia tersenyum.. Ahhh.. Ya, kiamat itu hanya hoax! Life moves on! Mana tega Tuhan membiarkan manusia sebaik Dani merasakan derita kiamat?

Seperti membaca gelagatku, Dani mendekat duduk bersila aku berhdapan dengannya. Dia mendekat lalu memegang tanganku seakan kami ini homo. Dani sudah ganti baju, kaos merah dan celana pendek biru. Hati ini sibuk sekali menggerutu.. Dia mengerti, dia tau segalanya tentangku, dia mengerti. Sangat mengerti, apa Dani sadar 131213?  apa dia juga takut akan kiamat?

“Kenapa sih? Masih belum ilang ngambeknya gara gara macet?” suaranya yang serak mengoyak kecemasanku. Terdiam aku menikmati suasana.

“Jangan terlalu serius jadi orang, sibuk amat complain. Kamu gak bakal punya tempat buat kebaikan kalau terus disibukin ama kekecewaan atas ini itu, yang ini yang itu.. complain mulu” lalu dia tersenyum, manis mengiris pelipisku yang tak tahan untuk mencumbunya seakan kami ini homo.

Aku sedikit tertunduk,ku tundukan lagi kepalaku lebih dalam. Nafsu ini tak ingin ku tunjukan padanya.

“Sulit jadi orang baik, kalo yang kamu terima kebanyakan impuls negative juga berfikir negative” dia menambahkan, kali ini tak jelas gambaran mukanya, yang ku lihat hanya otot betisnya yang menonjol kuat, siap menopang tubuhku yang sedia bergelayut seakan aku ini penis raksasanya. Kiamat seakan ditelan sofa tempat kami duduk.

“Jangan nunduk terus dong, biasanya kamu ceria..  Apa itu tandanya kamu kalah sama hidup? Ato Kalah sama Jakarta? Heheheh… jangan nyerah gitu dong.. katanya strong. Masih inget kan dulu aku pernah nyerah juga soal nyari kerjaan gak dapet dapet? Kamu yang banting tulang ngehidupin kita. “Kebo jantan harus tahan banting”, gitu kata kamu” sambil menyunggingkan senyum dia mengangkat daguku. Wajahku terangkat. Dalam jarak dekat Jelas ku lihat wajahnya, tiap detil pori pori, bekas  jerawat, beberapa komedo dan minyak mengkilat di pipi. Matanya tertancap di mataku.

Sial, laki laki ini sial, dasar penggoda iman! Jantungku menggerutu gusar menahan desakan detakannya yang amburadul. Mati saja aku! Hey sofa, telan saja aku! Pikiranku terbang kesana kemari.

“Kenapa kamu mau hidup bareng sama aku, kan bisa aja kita beda atap?” tanyaku tiba tiba, pikiran itu datang juga tiba tiba.

Dahi Dani mengkerut. “Itu pertanyaan aneh”

“Setelah kita hidup lama bertahun tahun? Hidup serumah belasan tahun. Masa kecil bersama. Dan kamu baru nanyain gitu. Ato mungkin kamu udah jengkel kita hidup bareng? Bosen? Ato pengen hidup ama yg lain?”Dani tersenyum.

Heran, kenapa dia mesti selalu tersenyum. Menebar pesona? Laki laki ini tahu benar menjadi pesona!

“Bukan, aku cuman nanya aja Dan”

“Pertanyaan itu muncul dengan alasan”

“Alasanku ya.. Pengen tau aja”

“Dasar.. Mm.. Apa ya?? Kamu ini udah aku anggap lebih dari keluarga. Terlebih ada kebaikan disini” tangan besarnya menempel di dadaku. Remas dadaku!

“Juga karena nyaman, kamu itu tulus orangnya, biarpun suka ngomel ngomel” dia lanjut dengan terkekeh dan senyum simpul. Belum sempat aku mencerna ucapannya, telapak tangannya mengucek ngucek rambutku.

Ah, bagaimana aku tak bisa tulus padamu Dan? Kau bagaikan madu jika kau tersenyum. Rasanya, secepatnya ingin ku lumat saja bibir itu. Ku hantam tubuh itu dan saling bertindihan seakan kami  adalah homo.

“Kamu tahu kan kalo aku suka sama kamu Dan?” ya, aku yang homo.

“Tau.. Aku percaya sama kamu. Jadi aku gak perlu khawatir”

Dasar bodoh! Seharusnya kau jauhi aku! Menjauh dari dulu! Hina aku! Jahati aku!! Dasar lelaki egois! Tak bisakah kau mengerti semakin kau dekat semakin kau menarikku!

“Kamu gak takut ? kamu gak risih kita tinggal bareng? Kamu gak malu, aku kan udah coming out di Jakarta, di jidatku ini teukir jelas aib”

“Udah deh, udah berapa kali kita ngebahas soal ini. Kamu tuh nanya mulu kayak yang ragu. Aku ini sahabat kamu, dari kecil. Dari semenjak kamu suka Sailor moon, rajin noonton Wedding Peach, Pokemon. Geng-gengan ama si Pika, Gita, Ratna. Lilis, Uni. Kamu tuh udah sangat jelas dari kecil. Kalo mau, dari dulu aku udah malu trus pergi, gak mau temenan ama kamu. Yang jelas kita ini teman sangat baik”

“Makasih Dan” Sembari ku dekatkan mukaku, satu inchi jarak kami. Cukup aku saja yang memajukann bibir, aku sudah akan bisa melumat bibir tipisnya. Tapi dia memalingkan muka. Sial!

“Maaf” kataku lirih, dibakar nafsu dan disunut rasa malu, wajahku memerah bara.

“Aku yang minta maaf. sori aku gak bisa” senyum itu kembali disunggingkan.

1 minggu 3 hari menjelang kiamat.

“Ini udah tanggal 3, bentar lagi tanggal 13 Dan! Masa si Yani tadi bilang di kantor aku ini tanda tandanya kiamat. Parah lagi si Farhad bilang aku penyebab kiamat! Tanda tanda kiamat. Lagi lagi tanda tanda kiamat? Orang orang tuh pada sok suci ya,, kayak mereka bisa lompat dari kiamat terbang ke langit ke tujuh, dan langsung masuk surga trus aku disini dipanggang lava merapi ato mati digencet atap rumah? Ngaco, selama mereka hidup sama aku, mereka juga punya tanggung jawab. Aku tahu aku homo, aku tahu aku salah, tapi mereka juga kan harus nyadar diri”

“Udah, kalo kamu udah ngerasa salah, selesaikan masalah!” Dani menatap tajam. Tak pernnah selama 12 tahun kami tinggal bersama, nada suara Dani setinggi ini, pemilihan kata katanya pun berbeda. Mungkin Dani juga takut akan kiamat?

“Aku takut Dan, aku gak mau mati sebagai pendosa.  Bapakku aja takut sama aku, katanya aku ini anak dajjal!”

“Kan udah aku bilang, kalo kamu takut mati. Tinggal pikirin aja kalo mati itu kayak minum  susu hangat di pagi hari cerah yang dibikinin mamah kamu, bapakmu masih ngerek. Udah 1 minggu kamu gila soal kiamat kiamat! Cukup! Kalau kamu mau selamat, tenangkan diri!”

“Kan aku yang selalu bikin susu, bukan mamah. Aku takut kiamat, aku pengen khusnul khatimah!!”

“Masih sempet kamu ngomong gitu. Just do it! Don’t complain about it! Nada Dani makin menanjak. “Kalau takut kiamat ya taubat”

Dia benar. Namun aku justru malah menangis. Ingin ku peluk Dani dan tidur di atas dada bidangnya.

“Sial, udah dong jangan nangis..  Terserah kamu aja deh. Mau ikut pergi gak? Acaranya mulai setengah jam lagi”

“Gak ah, aku mau ke kamar mandi” serak suaraku menjawab Dani.

Tak bisakah serak suaraku membuatmu memelukku Dan? Tak mau kah kau memelukku?

“Mau mandi? Ya udah aku tungguin. Ini acara penting kantor, kita harus dateng “

“Bukan! aku mau wudhu trus solat, ama ngaji” Bete!

“Oke, yaudah. aku berangkat”

Tangisanku merembes, betapa aku sangat menyayangi Dani, tak bisakah aku mendapat sebuah pelukan pagi ini Tuhan? Punggung Dani menjauh. Cahaya mentari tetap menjaganya utuh di penglihatanku, sampai dia benar benar hilang. 12 tahun kami tinggal bersama, saling menghormati dan menjaga.

Dani adalah anak dari Pak Haji Cecep dan Hjh Engkom, tokoh agama di kampung kami. Dulu, sebelum pak haji meninggal aku sering pergi mengaji ke mesjid pak haji. Disanalah aku bertemu Dani. Seorang anak pendiam, jago main bola dan penuh rasa keadilan. Dari kecil aku sudah menunjukan kekhasanku sebagai laki laki diluar koridor laki laki. Aku sadar aku menyukai sesama lelaki. Aku menyukai Dani. Waktu itu aku bangga menyatakan perasaanku pada Dani di hadapan banyak orang. Walau pada akhirnya Dani menolakku dan memilih Irma, anak pegawai bank. Dari sanalah orang orang sering mengejekku, namun Dani selalu membelaku, hingga Dani ikut dijadikan bahan ejekkan. Tapi dengan baik dia selalu menegaskan bahwa aku adalah sahabatnya. Kita semua berteman dan sesama teman harus saling menolong, tidak boleh saling mengejek. Dani adalah pahlawanku, selalu menjadi pahlawanku.

Saat umurku 13 tahun, ayahku meninggal. Motornya jatuh ke jurang. Ibu sering menangis hingga jatuh sakit. Tekanan psikologis atas kehilangan tulang punggung keluarga, menjadikan ibu memaksakan diri menjadi pembantu rumah tangga di rumah pak haji, ayah Dani. Dari sanalah nasib itu bergulir, satu atap dengan Dani, keluarga pak haji yang ramah, pendidikan memadai, dan ibu yang nonstop menyayangi membuatku terus harus bersyukur, kecuali satu hal. Rasa sukaku pada lelaki mulai dibarengi nafsu. Sekuat tenaga ku jaga kehormatan keluarga pak haji, Dani, ibuku dan aku. Hingga kami dewasa kami selalu menjaga persahabatan kami, dan selalu ku jaga perasaanku untuk menghormati Dani. Karena Dani menghormatiku. Menginjak bangku kuliah, aku dan Dani lulus di salah satu Univ Negri di Bandung namun jurusan kami berbeda, dia mannajemen dan aku ekonomi. Disanalah aku mengikuti nafsuku menjamah lelaki. Berganti laki laki demi laki laki dari berbagai macam umur , bahkan hingga saat ini. Dani tahu, Dani selalu tahu, namun dia selalu berusaha memahamiku.

Dani seperti kebanyakan lelaki, dia menyukai perempuan. Namun sudah dua tahun dia menjomblo. Terakhir kali dia berpacaran dengan Gadis, gadis jurnalis berdarah batak. Gadis menjamah Dani, Gadis melumat Dani, Gadis berbagi dengan Dani selama hampir dua tahun, namun Gadis berlabuh pada lelaki lain, rekan jurnalisnya. Ku ingat betul malam itu Dani terpukul mendapati Gadis bersama pria lain. Dia memelukku sembari menangis. Hatiku pun menangis. Disanalah aku tahu, hatiku tak bisa berpaling pada siapapun, dia sudah berlabuh pada Dani. Aku mengutuk Gadis di setiap doaku.

9 Desember 2013

Pagi cerah Jakarta. Tak seperti biasa, Jakarta terlihat segar bugar sehabis diguyur hujan, entah kemana banjir mengalir, Jakarta terlihat seperti habis mandi pagi dan segar. Lalu mentari yang gagah berparas cahaya memberi kehangatan pada kekerasan Jakarta.

“Sebenernya, kamu ngingetin aku sama harga diriku sebagai laki laki Dan”

Dani tersenyum. “kamu memang laki laki”

“Laki laki itu yang kayak kamu, bukan yang kayak aku”

“Kita ini laki laki”

“Jelas di kitab suci, laki laki yang menyerupai perempuan itu tanda tanda kiamat. Kamu aseli, aku palsu”

“Cukup, topic kiamat habis. Simpen otak kamu buat urusan gawean di kantor. Sekarang kita cari sarapan”

“Sekarang udah tanggal 9 Dan. Aku makin parno. Kamu tau Dan siksa neraka buat orang orang kayak aku? Anusnya ditusuk sama paku besi panas yang gede banget, berkali kali, berabad abad” Ku rasakan tubuhku mengeriput, anusku kembang kempis, mataku mencair.

“Aku takut Dan” aku merengek bak balita.

Dani melengos, seperti jengkel dari kecemasanku yang tak ada habis habisnya. Topic kiamat yang tak henti hentinya.

“Lihat!” Tangan itu menunjuk ke langit.

“Ada apa?”

“Langit itu masih biru, besar luas terlihat hangat dan sangat nyaman bagi manusia untuk bisa tertidur pulas tanpa perlu khawatir akan runtuh. Awannya putih bersih masih seperti bantal yang nyaman, matahari bersinar, hangat seperti tersenyum pagi ini. indah bukan? Tuhan mana yang mau merusak keindahan seperti ini?“

“Dan kamu. Lihat dirimu. Tak ada yang salah. Kamu itu orang yang baik! Penuh perhatian! Kebaikan tidak dipandang dari orientasi sex. Kamu bukan orang yang jahat. Tuhan mana yang tega membiarkan orang sebaik kamu menderita disiksa?”

Pernyataan Dani meresap dengan baik di telingaku lalu berhasil mengukuhkan perasaanku. Setidaknya di mata Dani aku baik. Aku terharu dan bahagia. Rasanya ingin ku bungkus rasa bahagia ini dan menyimpannya baik baik. Nanti bila aku sedih akan kubuka bungkusan ini untuk merasa bahagia kembali, sebahagia hari ini. ku pandangi Dani lekat sekali sembari menahan tangis bahagia yang membuncah. Makasih Dan…

“Makasih Dan.. “ aku tersenyum.

13 Desember 2013

Pagi 13 12 13 akhir tahun yang diapit dua nomor kematian dalam kepercayaan China 13 dan 13/ 4 dan 4. Kiamat benar benar terjadi. Namun kiamat hanya terjadi kemarin pukul 23.00 di China, Hongkong. Ribuan mati seketika, jutaan rakyat China terlihat berlarian panic menyelamatkan diri. Pabrik terbesar sedunia pengolah nuklir meledak dan menkontaminasi udara dengan radiasi nuklir jauh hingga 3456km. sampai ke India. Ternyata bukan Tuhan yang menghancurkan bumi, tapi manusia sendiri. Berita heboh dunia, seluruh dunia panic, Jakarta kalang kabut ketakutan atas radiasi yang bisa saja menyebar sampai Nusantara. Daratan Asia yang paling panik. Tapi berdasarkan laporan perkiraan cuaca menyoal arah laju mata angin membuat ribuan penduduk Pakistan, Nepal harus mengungsi untuk menghindari asap radiasi yang terbawa angin. Radiasi diperkirakan takkan mampu menyebar jauh hingga Indonesia, setelah perhitungan matematis soal massa nuklir yang meledak. Siapa yang mampu menjamin keakuratan sebuah perkiraan dan perhitungan manusia? Sialnya pemerintah menganjurkan aktifitas masyarakat untuk terus dilanjutkan seperti hari biasa di Jakarta, di seluruh Indonesia. “Tak usah khawatir” begitu kata president “kita jauh dari jangakauan radiasi”. Aku terpaku di depan tv, pucat pasi. Semua saluran menyiarkan hal yang sama, berita darurat ancaman bagi umat manusia. Rasa takut seperti denting lonceng raksasa dalam kepala, gaungnya begitu menakutkan. Sangkakala itu berbunyi di benakku. Aku yakin ini akhir dunia! Dengan gemetaran aku merangkak dari ruang tengah menuju kamar, menggulung diri dengan selimut, terus merangkak menuju sudut kamar untuk bersembunyi di kolong meja. Dani? Dimana dia? Tak butuh lama ku temukan dia melalui pintu kamar yang terbuka. Mungkin dari tadi dia menatapku dari ruang tengah, seakan mengasihani. Lelaki itu melangkah mendekat.

“Jauh, China tuh jauh” ucap Dani. Aku bergeming.

“Hey udahlah.. “ ucap Dani lagi.

“Ini hari jum’at Dan” kataku parau.

“Semuanya bakal baik baik aja” balas Dani.

No, it won’t!”

“Yaudah, buat nenangin diri kamu. Sekarang mending kita shalat aja” ajak Dani.

Shalat? Ya kau benar Dan! Tanpa menunggu jawabanku tangan Dani sudah merangkul bahuku, lengannya yang kokoh menarikku keluar dari kolong dan mengangkatku dengan perlahan. Pelan pelan kami menuju kamar mandi. Dani me-wudhu-kanku. Dibersihkannya telapak tanganku, hidungku, rambutku, mukaku, tanganku, telingaku, kakiku. Lalu Dani berwudu.. Kesejukan air membilas sedikit rasa khawatirku. Kami sudah suci. Dengan tenang Dani memapahku. Kami menuju ruang Shalat. Digelarnya sejadahku, lalu sejadahnya. Dani sudah berdiri di hadapanku menjadi imam. Mengingat ini masih pagi, aku dengan polos bertanya.

“Ini shalat apa Dan?

“Shalat Dhuha” jawabnya. Hening sejenak

“ALLAAHU AKBAR” takbir Dani menggema di tiap sudut ruangan.

Kami Shalat.

Seusai Shalat, Dhani membalikkan badannya lalu mendekapku erat. Aku terkejut, namun begitu nyaman. Hangat. Rasa cemasku mencair. Ku rebahkan kepalaku di dadanya. Kesadaranku terlena, aku seakan baru menyadari bahwa Dani selalu ada, Ya.. dia selalu ada untukku. Terlepas dari segala macam atribut duniawinya, aku selalu merasa Dani selalu ada. Ku tatap Dani dengan nanar. Lalu bibirnya mengecup keningku.

“Aku mencintaimu Yud” Dipeluknya aku lebih erat.

KIAMAT

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun