Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Delapan Ratus Jejak Diri

7 Juni 2020   12:43 Diperbarui: 7 Juni 2020   14:06 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpaperbetter.com

Tujuh ratus sembilan puluh sembilan jejak diri tertancap, bagai anak panah melesat dari busurnya mengukir jejak tak terhapus. Ujung panah terkadang runcing menancap kokoh, terkadang pula tumpul.

Satu anak panah kembali melesat, delapan ratus sudah anak panah lepas dari busurnya, biarkan anak panah itu melesat jangan pernah hapus jejaknya karena ia akan binasa secara perlahan.

Jangan pernah patahkan anak panah yang telah melesat, biarkan  anak panah menemui sasarannya. Jejak diri akan menjadi sejarah bahwa ia pernah ada.

Merpati pemberi kabar selalu menyapa dengan suara merdunya, reribu aksara menjelma menuju, membungkus anak panah yang melesat. Jejak diri tertancap kokoh dalam lautan aksara, tenggelam bersama dalam kesunyian.

Delapan ratus sudah menjejakkan diri dalam lautan aksara.

ADSN1919

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun