Setiap bulan puasa mempunyai kisah tersendiri, saya teringat ketika bapak saya pindah tugas ke Kecamatan Cariu Kab Bogor, Â kami menempati rumah dinas Camat. Sekitar tahun 1984 - 1988, saat itu saya dan 4 saudara saya masih imut-imut dan lucu-lucunya (kata saya sendiri hehehe) saat itu adik paling bungsu belum ada. Karena dia anak angkatan 90-an jadi saat saya ceritakan ini dia masih di awang-awang hehehe. Kami enam bersaudara perempuan semua, selisih usia kami tidak terlalu jauh, kecuali adik nomor lima jauh ehhhh ditambah adik nomor enam yang jarak usia jauuuuuuh banget.
Kecamatan Cariu yang merupakan pemekaran Kecamatan Jonggol, mempunyai sejuta kisah bagi saya, karena kami bisa ngebolang, bebas bermain di sungai dan di sawah yang tidak saya temukan lagi ketika bapak pindah ke Kota Depok.
Di Cariu shalat tarawih antara laki-laki dan perempuan beda tempat. Para lelaki di Masjid Agung dan kami para perempuan di Aula Balai Desa. Dengan imam seorang perempuan tentunya.
Setiap pergi tarawih ibu tidak mau repot, dan kami selama shalat tarawih tidak boleh berpencar, karena beliau tidak bisa mendampingi kami, karena menjaga adik kami yang masih beberapa bulan usianya. Mungkin beliau berfikir biar tidak berpencar dan lebih  efektif bila kami bawa karpet sendiri dari rumah,  untuk berempat.Â
Setiap sampai ke Aula Balai Desa untuk shalat tarawih, kami kadang kerepotan menggelar karpet dan harus menggeser jamaah yang lain, karena karpet yang kami bawa cukup besar. Kadang kami menerima omelan dari jamaah yang sebelah kami, Â karena merasa terganggu. Tapi kami harus tebal muka, pura-pura tak dengar omelan mereka dengan memasang wajah tak berdosa.
Tapi jamaah yang kenal kami sebagai anak pak Camat, hanya senyum-senyum melihat kami berempat bawa karpet. Dan mereka dengan sukarela membantu kami menggelar karpet dan menggelar sejadahnya di atas karpet kami.
Karena sering diomeli jamaah lain, diam-diam  kakak nomor 1  bawa sejadah sendiri dan pura-pura tidak melihat ketika kami (saya, kakak no 2 dan adik) kerepotan mencari tempat sholat, karena tempat hampir penuh dan tidak bisa berjejer tiga orang. Tapi kakak nomor 1 tidak tega melihat kami bertiga tetap gotong-gotong karpet akhirnya ia bersama kami lagi, gotong karpet.
Saat itu kami tidak berani protes untuk tidak membawa karpet, padahal di rumah sajadah banyak, mungkin maksud ibu biar kami tidak berpencar. Bisa dibayangkan tiap sholat kami gotong-gotong karpet dan sibuk nyari tempat biar berjejer empat orang.
Masih tentang karpet dan tarawih, karena pengalaman sering diomeli jamaah lain, kami berempat sepakat datang lebih awal, Aula Balai Desa masih sepi dan kami bebas gelar karpet, sampai jamaah lain bisa gelar sejadah di atas  karpet kami.
Setelah shalat tarawih kami tidak bisa langsung pulang, karena menunggu jamaah yang numpang di karpet kami selesai tadarusan, karena mau bilang saat itu kami tidak berani, akhirnya kami diam disitu sampai tadarusan selesai. Banyak yang memuji kami berempat yang mendengarkan mereka tadarusan. Ah seandainya mereka tahu, pasti mereka sedih, karena kami diam disitu dengan terpaksa bercampur  perasaan dongkol, nunggu karpet yang dipakai salah satu jamaah itu. Ups.
Itulah pengalaman kami dengan karpet ajaib, karena setiap tarawih dan selama tinggal di Cariu, ibu selalu mengeluarkan karpet itu untuk kami bawa ke Aula Balai Desa.
Tapi sekarang setelah kami dewasa, dan sering berkumpul, kisah-kisah masa kecil itu bisa membuat kami tertawa sampai keluar airmata. Begitu konyolnya kami setiap berangkat shalat tarawih, gotong-gotong karpet padahal lebih simpel bawa sajadah masing-masing dan tidak mengganggu jamaah lain. Tapi saat itu tidak terpikir dan kami manut perintah orangtua. Hehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H