Saat mentari beranjak diperaduan, sebuah undangan ku terima, tak seperti biasanya bukan untuk  menikmati secangkir kopi yang biasa aku racik, tapi engkau mengajak menikmati secangkir teh panas tanpa gula. Daun teh yang engkau tanam dan engkau  petik sendiri, pucuk-pucuk daun segar sebagai pilihan, karena ingin memberikan hasil  yang terbaik padaku, aku ingat tiga belas kali engkau mencoba menakarnya agar terasa pas di lidah. Aku merasakan ada semangat dan harapan di secangkir teh yang kita hirup bersama itu.
Secangkir teh sengaja engkau racik sendiri,  dituangkan air mendidih biar rasa dan aromanya terasa murni, engkau suguhkan ketika kepulan asap menyerupai penari, berlenggak lenggok menuju langit, engkau tatap kepulan asap itu sampai menghilang tertiup angin. Wangi teh terasa segar  membuat nyaman dan menenangkan, aku suka aromanya dan aku hirup dalam-dalam, merasuk relung hati.
"Minumlah, bayangkan penari langit merasuki tubuhmu, kita akan menarikan tarian pena yang dahsyat, yang akan  menjadi candu penikmatnya" kemudian engkau minum seteguk teh di cangkir itu dan memberikan bibir cangkir itu padaku.
Kita minum di bibir cangkir yang sama, agar kita sama-sama merasakan rasa teh di cangkir itu. Penari langit telah merasuki dua tubuh, saatnya kita goreskan  tarian pena, biarkan ia menari dengan tariannya, adakalanya ujung pena harus tajam dan adakalanya ujung pena ditumpulkan supaya terasa  lembut tariannya.
Secangkir teh tandas tak bersisa, satu penari merasuk dua tubuh untuk mengguncang dunia, bersiaplah! Sambutlah kedatangannya. Dua pasang mata saling bertatapan optimis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H