Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Lelaki Sampan di Hutan Larangan

28 Agustus 2019   19:19 Diperbarui: 28 Maret 2020   19:52 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian Dua

<< Sebelumnya 

****

Aku dan lelaki sampan dengan sorot mata tajam meniti batang kayu besar yang telah tumbang. Sambil berjalan aku terus berpegangan pada tangan kirinya. Jujur saja aku takut ada binatang buas yang tiba-tiba saja bisa muncul, saat ini aku begitu pasrah mau dibawa kemana oleh lelaki sampan ini.

Karena melihat aku begitu kerepotan dengan menjinjing sepatu yang aku lepas, lelaki sampan berinisiatif membawakan tas kerjaku dengan tangan kanannya, sambil berjalan kurasakan tangan kirinya memegang tangan kananku dengan erat sekali, seolah meyakinkan aku untuk tetap tenang karena ada dirinya ada disebelahku, rasa takutku sedikit berkurang. Tapi aku tak kuat dengan hawa dingin yang aku rasakan saat ini  sampai badanku menggigil kedinginan.  

Langit masih mencurahkan hujannya, saat lelaki sampan secara perlahan menyibak ranting dan dedaunan yang menutupi langkah kami untuk memasuki hutan larangan ini. Jalanan setapak ini terasa begitu licin dan lembab sekali, sambil berjalan aku  berusaha untuk menahan hawa yang terasa begitu dingin, lelaki sampan memegang erat tanganku yang terasa beku. di bawah langit yang menghitam aku dan lelaki sampan terus berjalan meninggalkan sampan di tepi hutan.

Kami berjalan dengan penuh  hati-hati, lelaki sampan berusaha melindungiku padahal aku tahu lelaki sampan sudah terbiasa dengan kondisi jalanan seperti ini, tapi ia dengan sabar berusaha menyesuaikan langkahku yang pelan dan sering terpeleset  karena jujur saja aku tidak terbiasa jalan tanpa mengenakan alas kaki. Hutan larangan yang kami masuki ternyata masih perawan, karena belum ada manusia yang sampai ke tengah hutan larangan ini, biasanya mereka hanya berani sampai pinggir hutan.

Semakin masuk ke dalam Hutan larangan, aku merasakan suasana terasa begitu mencekam dan membuatku merinding, aku melihat lelaki sampan begitu tenang tak terlihat rasa takut atau khawatir.  Sepertinya baru kami yang memasuki hutan ini, aku lihat batang-batang pohon besar dengan akar-akar kayu terlihat bergelantungan di sepanjang jalan yang kami lalui. 

Banyak lumut di sana-sini yang  menandakan bahwa di sepanjang kawasan hutan yang begitu lembab ini jarang sekali terkena cahaya matahari. Sambil mengiringi langkah kakinya aku terus menggenggam tangan kirinya sambil sesekali menatap wajahnya, karena aku merasa takut berada di tengah hutan ini, dan entah kapan langkah kaki ini akan terhenti, aku merasa sangat lelah dan aku ingin mengatakan itu  pada lelaki sampan tapi mulut terkunci karena  aku merasa malu dan gengsi.

Semakin dalam memasuki Hutan larangan, suasana semakin  gelap karena banyak pepohonan yang menutupi sinar matahari, apalagi saat cuaca seperti sekarang ini otomatis pandangan kami terbatas juga. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya dalam keremangan kami melihat sebuah pondok yang terbuat dari kayu. Aku semakin erat memegang tangan kiri lelaki sampan itu. Aku  dan lelaki sampan mempercepat langkah kaki menuju ke arah pondok kayu di tengah hutan itu.

Belum  seberapa jauh kami berjalan, aku yang merasa begitu lelah ditambah jalanan yang sangat licin, serta lelaki sampan mempercepat langkah kakinya sambil menggenggam erat jemari tanganku,  membuat aku terpeleset, sambil tanganku tetap memegang tangannya. 

Aku yang tidak terbiasa berjalan tanpa alas  kaki di tambah jalanan yang kami lalui terasa begitu licin membuat aku jatuh tertelentang di depannya, saking kagetnya, secara reflek aku menjerit,  kurasakan tangannya berusaha menarik tubuhku. Mungkin kondisi tubuhnya tidak siap menahan beban tubuhku, akhirnya lelaki sampan dengan tatapan tajam itu ikut terpeleset dan jatuh menimpa tubuhku.

Di tengah Hutan larangan yang terlihat remang-remang,  di bawah guyuran air hujan  dengan angin sepoi-sepoi di atas tanah  yang terasa  begitu lembab dan dingin, di sebelah batang kayu besar yang di penuhi lumut, aku dan lelaki sampan jatuh berhimpitan. 

Karena kaget dan terkesima membuat aku dan lelaki sampan sekian lama terdiam, saling pandang antara satu dengan yang lainnya. Dalam gigil kedinginan, tubuhnya dan tubuhku menyatu. Aku yang semenjak tadi merasa kedinginan sampai darah terasa membeku, sedikit demi sedikit mencair saat merasakan kehangatan tubuhnya. Kurasakan irama jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya, aku merasakan jantungku tak kalah kencang  berdetaknya saat dadanya itu menindih buah dadaku. 

Cukup lama aku dan lelaki sampan  terdiam, kurasakan nafasnya terasa hangat di wajahku dengan bibir hampir menyentuh  bibirku. Aku terdiam sambil menatap kedua matanya, aku melihat tatapannya begitu dalam ada setitik gairah di sana entah kenapa aku melihat lelaki sampan begitu seksi dimataku.

Detak jantungku dan detak jantung lelaki sampan terasa kencang debarannya. Aku masih menatap kedua matanya yang tak berkedip menatapku, dibawah curah hujan aku merasakan tubuhnya terasa hangat membangkitkan gairah di tubuhku. Dalam diam sepertinya ia tahu apa yang sedang bergejolak di dalam hatiku.

Hembusan nafasku dan nafas lelaki sampan seolah saling berburu, berpacu dengan nafas yang semakin tak beraturan. Dalam diam, aku dan lelaki sampan saling bertatapan. Seolah saling berbicara lewat tatapan mata. 

Lelaki sampan terus menatapku tanpa berkedip, tatapan matanya terasa berbeda begitu dalam dan seperti menginginkan  kehangatan tubuhku, darahku berdesir dan kedua pipiku terasa hangat, tatapan matanya membuatku salah tingkah, khawatir ia tahu apa yang aku rasakan, sambil menggigit bibirku sendiri, aku palingkan wajahku ketempat lain. Aku menikmati tatapan matanya yang begitu liar memandang wajahku. Aku biarkan tubuhnya berada di atas tubuhku tanpa berusaha aku singkirkan. Karena dalam diam jujur saja aku menikmati kehangatan tubuhnya yang menghangatkan tubuhku.


****

Suara petir menyadarkan aku dan lelaki sampan untuk segera bangun dan beranjak dari tempat ini, baju putihku semakin kotor terkena tanah dan baju yang aku pakai seperti melekat erat pada kulitku. Lekuk tubuhku terlihat jelas, aku melihat mata lelaki sampan mencuri-curi pandang pada kedua buah dadaku yang terlihat semakin membusung.

Lelaki sampan mengajakku untuk berteduh di pondok kayu di tengah hutan, sambil mengangguk aku berusaha mengatur nafasku  yang memburu menahan hasratku sendiri,  aku berharap lelaki sampan tidak menyadari gejolak birahiku yang terasa sampai ke ubun-ubun ketika merasakan sensasi kehangatan tubuhnya tadi.

Aku tersadar tubuhnya masih berada di atas tubuhku  ketika mendengar suaranya untuk berteduh di pondok kayu ditengah hutan larangan,  dengan malu cepat-cepat aku singkirkan tubuhnya dari atas tubuhku.

"Aduh..,"

Aku mengaduh ketika berusaha berdiri, pergelangan kakiku terasa begitu sakit, mungkin terkilir saat aku terjatuh tadi.

Lelaki sampan memeriksa  pergelangan kakiku dan ia mengatakan yang sama bahwa kaki kananku memang terkilir dan harus segera diurut, aku dan lelaki sampan harus segera ke pondok kayu di tengah hutan larangan itu untuk berteduh.

Aku masih  menahan sakit di kaki kananku ketika lelaki sampan mengajakku berjalan ke arah pondok kayu di tengah hutan larangan itu, aku hanya diam mematung penuh ragu untuk berjalan ke arah pondok kayu itu, aku hanya bisa menatap mata lelaki sampan dan pondok kayu secara bergantian untuk mengukur jarak yang harus ditempuh dalam kondisi kaki yang terasa semakin sakit ini.

Aku harus jujur pada lelaki sampan,  bahwa kakiku semakin terasa sakit menahan beban tubuhku sendiri, apalagi jika harus berjalan aku tidak akan kuat.

"Sakit," mau tidak mau kata itu meluncur dari mulutku, ketika aku berusaha berdiri dengan bantuan tangannya.

"Oke, mari kugendong saja kalau begitu. Agar kaki kananmu itu tidak semakin bertambah sakit, karena di paksa untuk berjalan dari sini ke pondok itu." Kata lelaki sampan di depanku pelan.

Setelah dengan susah payah aku berdiri. Lelaki sampan  mengambil posisi untuk menggendong tubuhku.

"Naiklah," kata lelaki sampan itu pelan, meminta aku untuk  segera naik ke atas gendongannya.

Hujan masih deras mencumbu bumi, di antara hembusan angin yang meniup dedaunan,  sambil menggendongku, lelaki sampan terus berjalan membelah kelebatan Hutan larangan.

****

Lelaki sampan menurunkan tubuhku dengan hati-hati tatkala kami sampai di dalam pondok kayu, sambil memintaku membersihkan diri di tempat penampungan air hujan.

Di sebelah kanan pondok kayu ukuran 4 x 6 yang memiliki atap dari jerami dan dedaunan, serta berdindingkan kulit kayu, aku melihat ada tempat penampungan air yang terbuat dari tanah liat, jika melihat posisi tempat penampungan air itu, sepertinya memang sengaja di tempatkan untuk menampung air hujan di situ.

"Aku," kata-kataku terhenti, sambil menatap ke arah penampungan air dan ke arah lelaki sampan  secara bergantian.

"Mandilah, bersihkan semua tanah-tanah yang menempel di bajumu, aku akan pergi sebentar, mau mengambil tas dan sepatumu yang masih tertinggal di tempat kita terjatuh tadi." Kata lelaki sampan pelan, sepertinya dia mengetahui keraguanku untuk membersihkan diri di depan matanya. 

Ketika lelaki sampan pergi,  dengan berjalan tertatih-tatih menahan sakit pada pergelangan  kaki kananku yang terkilir, aku segara mandi dan membersihkan baju dari kotoran tanah yang menempel. Kemudian aku peras dan aku kenakan kembali, badanku terasa segar setelah di bersihkan ditempat penampungan air hujan tadi.

****

Aku memakai baju terburu-buru ketika aku mendengar langkah kaki mendekat ke arah pondok kayu, sekilas aku melihat lelaki sampan berjalan mendekati pondok kayu sambil menenteng tas dan sepatu yang terlihat penuh tanah. 

Aku sempat melihat mata lelaki sampan melirik ke arah dadaku saat aku tengah kerepotan mengenakan pakaianku.  Kancing baju putih yang aku kenakan belum terkancing semua, begitu juga dengan rok kain panjang yang aku kenakan, masih tersingkap di sana-sini. Aku pura-pura tak melihatnya, saat lelaki sampan ini diam-diam terus memperhatikanku, sepertinya dia menahan geli saat melihatku tengah berusaha menutupi aurat tubuhku yang masih belum tertutup sempurna menutupi seluruh aurat di tubuhku.

-Bersambung-

Catatan : Di buat oleh, Apriani Dinni dan Warkasa1919. Baca juga Aku dan Wanita Cantik di Atas Sampan yang di buat oleh, Warkasa1919. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun