Di Indonesia, korupsi telah berkembang menjadi masalah besar yang merusak sistem sosial, ekonomi, dan politik. Jawa Tengah, terutama Semarang, sebagai ibu kota provinsi, telah menjadi perhatian publik karena berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi hingga janji politik yang terlupakan pasca pemilihan umum. Dengan banyaknya informasi dan bukti yang muncul, masyarakat dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah harapan untuk perubahan dapat menggantikan kepercayaan yang terus terkikis?
Pada tahun 2024, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dan jajarannya telah mengungkap 73 kasus korupsi yang memerlukan perhatian publik, menurut detikjateng. Salah satunya adalah kasus penyalahgunaan dana hibah oleh seorang pejabat tingkat tinggi di Semarang. Meskipun kasus ini sempat menjadi berita besar pada tahun 2010, proses hukumnya terhenti tanpa alasan yang jelas, meninggalkan banyak pertanyaan bagi masyarakat. Namun, kasus ini kembali muncul pada tahun 2023. Selain itu, KPK saat ini sedang menyelidiki pejabat tinggi di Jawa Tengah karena dugaan korupsi. Sebaliknya, spanduk dan baliho calon kepala daerah mengandung janji-janji kosong selama masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Misalnya, seorang kandidat berjanji untuk memberantas kemiskinan dan transparansi anggaran penuh. Â Pengalaman dari Pilkada sebelumnya, bagaimanapun, menunjukkan bahwa janji serupa sering kali tidak terwujud.
Fakta bahwa korupsi terjadi di Jawa Tengah menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum terhadap para pejabat yang terlibat dalam masalah ini. Karena tidak ada pengawasan masyarakat dan lembaga penegak hukum yang transparan, banyak kasus korupsi menjadi stagnan. Salah satu faktor utama adalah kurangnya pengawasan publik. Anggaran daerah seringkali tidak diawasi langsung oleh masyarakat. Akuntabilitas tidak dapat ditingkatkan hanya dengan bergantung pada laporan media. Selain itu, budaya politik yang bersifat transaksional terus menjadi masalah. Janji politik yang dilontarkan selama kampanye sering kali hanya bersifat transaksional, hanya untuk menarik simpati pemilih tanpa rencana yang jelas untuk dilaksanakan. Tidak ada mekanisme yang kuat untuk memastikan bahwa pejabat yang terpilih memenuhi janjinya. Kondisi ini semakin memburuk karena kurangnya literasi politik, terutama di kalangan pemilih pedesaan. Banyak warga kurang memahami proses politik dan hak warga negara mereka, sehingga mereka cenderung pasif terhadap korupsi dan janji politik yang tidak dipenuhi.
Masyarakat Jawa Tengah terutama generasi muda harus lebih aktif dalam mengawasi proses hukum terhadap kasus korupsi dan menuntut pemerintah daerah yang transparan. Pendidikan politik sangat penting, terutama untuk pemilih pemula, agar mereka memahami pentingnya tanggung jawab pejabat publik. Selain itu, diharapkan bahwa organisasi masyarakat sipil dan media massa akan lebih banyak berkontribusi pada pengungkapan fakta dan pengendalian korupsi secara menyeluruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H