Pendekatan politik di Aceh Tenggara sering kali mencerminkan apa yang disebut politik uang atau money politics. Dalam debat calon bupati dan wakil bupati yang baru saja digelar, kita menyaksikan betapa tidak ada substansi dalam diskusi mereka.Â
Memang tanpa saling sindir atau menjatuhkan, memilih untuk mengangkat isu dan membahas hal-hal yang tidak relevan. Ini adalah gambaran menyedihkan tentang kualitas pemimpin yang kita hadapi.
Ketika diskusi di warung kopi dengan beberapa teman, salah satu dari mereka mengungkapkan bahwa kabarnya para kandidat saat ini sudah menghabiskan hingga 50 miliar rupiah untuk biaya kampanye mereka.Â
Angka yang sangat besar, yang tak bisa kita abaikan begitu saja. Pertanyaannya, dari mana mereka bisa mengembalikan dana sebanyak itu, Jika terpilih nanti ? Dan lebih penting lagi, bagaimana kita bisa yakin bahwa tidak akan ada dampak negatif pada anggaran daerah yang digunakan untuk kepentingan rakyat?
Berdasarkan Qanun Kabupaten Aceh Tenggara Nomor 1 Tahun 2024, yang mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Tenggara, kita melihat fakta mencengangkan. Total pendapatan daerah yang tercatat adalah sekitar Rp1,3 triliun, namun hanya sekitar Rp120 miliar yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang berarti hanya 8,8% dari total pendapatan. Sementara itu, belanja daerah mencapai total yang sama, Rp1,3 triliun, dengan belanja operasional mendominasi, mencapai sekitar Rp933 miliar, dan hanya sedikit anggaran yang dialokasikan untuk belanja modal, yaitu Rp86 miliar.
Jika kita melihat biaya kampanye yang sangat besar ini, yakni Rp50 miliar, sementara PAD Aceh Tenggara hanya sekitar Rp120 miliar, tentu saja ini patut dipertanyakan. Dimana dan bagaimana dana sebesar itu bisa dikumpulkan?Â
Apakah ada kemungkinan bahwa sebagian dari dana itu berasal dari sumber yang tidak jelas atau mungkin bahkan berpotensi untuk disalahgunakan? Di sini, kita harus berpikir dua kali, apakah politik yang kita pilih akan mengarah pada perubahan yang signifikan, atau justru memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada?
Penting untuk diingat, masyarakat Aceh Tenggara sering kali tidak memilih berdasarkan logika atau visi yang jelas, tetapi lebih pada politik uang, hubungan keluarga, atau sistem balas budi. Inilah yang menyebabkan banyak calon yang diuntungkan oleh pendekatan tersebut, dan ini menghambat proses pembangunan daerah. Apa yang terjadi selanjutnya? Tak jarang, kita mendapati pemimpin terpilih yang tidak mampu memberikan perubahan nyata.
Namun, tidak semuanya gelap. Kita melihat ada potensi luar biasa di Aceh Tenggara yang bisa digali lebih dalam jika saja kita mau berpikir lebih kritis dalam memilih pemimpin. Di beberapa daerah di Aceh Tenggara, misalnya, banyak sekali pemuda yang memiliki ide-ide brilian untuk memajukan daerah ini, tetapi sayangnya, mereka sering kali tidak mendapat tempat.Â
Pendidikan dan pelatihan politik yang lebih baik untuk masyarakat dan calon pemimpin sangat penting. Jika kita lebih cerdas dalam memilih, kita bisa membawa perubahan yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.