Mohon tunggu...
Apriadi Rama Putra
Apriadi Rama Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Ziarah dan Surat Tilang

28 Oktober 2024   21:29 Diperbarui: 28 Oktober 2024   21:38 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi/dok. pri

Saat aku tenggelam dalam pencarian, petugas lain mendekati kami dan berkata dengan nada setengah berbisik, "Gimana kalau selesai di sini aja, bayar seratus ribu aja, Dek?"

Sontak, Arief langsung menjawab dengan nada tegas, "Maaf, Pak, tapi kami sedang tidak ada uang. Tanggal tua, lagi pula saya ini mahasiswa."

Polisi itu tampak menghela napas, lalu menurunkan tawarannya. "Ya sudahlah, lima puluh ribu aja, buat uang rokok," katanya sembari melirik ke arah teman-temannya yang sedang memeriksa pengendara lain.

Aku hanya bisa menatap, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Di sekitarku, ada beberapa pengendara lain yang tampaknya memilih untuk membayar di tempat. Aku melihat mereka menyerahkan uang kepada petugas, yang langsung memasukkannya ke dalam sebuah kantong kain kecil. Rasa kecewa dan heran memenuhi hatiku.

Di satu sisi, aku ingin sekali merekam kejadian ini untuk dijadikan bukti. Namun, aku juga merasa takut, takut kalau hal ini akan berujung pada hal yang lebih rumit bagi kami. Akhirnya, kami hanya bisa menerima surat tilang, memilih untuk menjalani sidang di pengadilan daripada menyelesaikannya di tempat.

Sore itu, harapan kami untuk berziarah ke makam para korban tsunami harus pupus. Kami memutuskan untuk pulang, membawa segumpal perasaan pahit di hati. Di perjalanan, aku dan Arief tak banyak berbicara. Rasa kecewa begitu mendalam; bukan hanya karena STNK yang tertinggal atau uang yang harus kami keluarkan, tetapi lebih karena kesadaran bahwa hukum bisa begitu mudahnya dipermainkan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung.

Sesampainya di rumah, aku dan Arief terdiam. Pandanganku jatuh pada ponsel yang tadi kupakai untuk mencari informasi. Pikiran melayang pada ribuan pertanyaan, tentang keadilan yang tak selalu berpihak pada mereka yang benar dan tentang ketidakberdayaan kami sebagai rakyat kecil di hadapan oknum berseragam.

Namun, aku tahu bahwa kami bukan satu-satunya yang merasakan ini. Di luar sana, ada banyak orang yang mungkin pernah berada di posisi kami, terjebak dalam ketidakadilan yang sama, merasa tak berdaya saat kejujuran mereka dipandang sebelah mata. Perasaan itu, perasaan tertindas dalam sistem yang seharusnya melindungi, membekas dalam benakku, membawa aku pada satu pemikiran bahwa perjuangan bukan hanya soal melawan musuh yang kasat mata, tetapi juga melawan sistem yang terkadang berpihak pada yang salah.

Dan, entah kenapa, meskipun perjalanan ziarah kami terhenti, aku merasa bahwa kami baru saja menziarahi sisi lain dari negeri ini. Sisi yang mungkin tak kasat mata, tetapi nyata bagi mereka yang pernah merasakan getirnya.

Cerita ini berakhir dengan sebuah refleksi. Keadilan seharusnya tak perlu diminta, namun untuk sebagian orang, terkadang keadilan adalah sebuah perjuangan yang tak henti-hentinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun