Mohon tunggu...
Apriadi Rama Putra
Apriadi Rama Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Bumi Tanoh Alas Memerah: Krisis Etika dalam Politik Aceh Tenggara

22 Oktober 2024   03:19 Diperbarui: 22 Oktober 2024   03:45 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Photo Pribadi Apriadi Rama Putra

Politik seharusnya menjadi arena tempat ide-ide besar dilontarkan, di mana gagasan visioner bersaing untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Namun, di Aceh Tenggara, kenyataan politik kita saat ini jauh dari harapan tersebut. Alih-alih menghadirkan solusi, para aktor politik dan masyarakat yang terlibat justru terseret dalam pusaran perdebatan yang mengandalkan serangan pribadi dan perang kata di media sosial. 

Di tanah yang dahulu dikenal sebagai "Bumi Sepakat Segenep," kini kita menyaksikan bagaimana kualitas politik yang tercermin di media sosial kian merosot, menggerus nilai-nilai kesopanan dan kecerdasan.Seiring dengan semakin maraknya penggunaan media sosial, politik di Aceh Tenggara berubah menjadi arena perang, bukan lagi arena diskusi. Bukannya memperdebatkan visi dan misi, apa yang kita saksikan sekarang adalah caci maki, kebencian, bahkan pengungkapan aib pribadi antara para kandidat dan pendukung mereka. Pertanyaannya adalah, apakah ini hasil dari rendahnya pendidikan politik, atau memang masyarakat kita sudah terbiasa menempatkan emosi di atas akal sehat?

Fenomena ini mengingatkan kita pada pepatah lama yang mengatakan, "Ketika kebodohan dipertontonkan, kebenaran pun tenggelam." Dalam konteks politik Aceh Tenggara, ini menjadi sangat relevan. Bukan hanya kalangan masyarakat biasa, bahkan para aktivis dan akademisi pun terjebak dalam narasi yang salah kaprah. Alih-alih mendidik masyarakat dengan etika berpolitik, mereka justru turut andil dalam memperburuk keadaan, dengan memperkeruh suasana di media sosial, seolah-olah debat politik adalah panggung bebas untuk menghancurkan karakter lawan.

Jika kita kembali kepada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Aceh Tenggara, di mana penghormatan terhadap sesama menjadi pilar utama, apa yang terjadi saat ini tampaknya mencerminkan degradasi moral yang serius. Di balik tirai digital media sosial, orang merasa bebas untuk berkata apa saja tanpa konsekuensi langsung. Ini adalah contoh nyata bagaimana teknologi yang seharusnya memajukan demokrasi, justru menjadi alat penghancur peradaban politik kita.

Jika kita ingin membuat analogi, kondisi politik Aceh Tenggara saat ini mirip dengan kisah dalam film Gladiator. Dalam film tersebut, para pejuang diadu di arena yang dipenuhi oleh sorak-sorai penonton yang haus akan kekerasan. Mereka bertarung bukan untuk keadilan atau kebenaran, melainkan untuk hiburan massa yang tidak peduli pada moralitas atau etika. Demikian pula di Aceh Tenggara, para politikus dan pendukung mereka seolah-olah menjadi gladiator modern, berperang di arena media sosial, disaksikan oleh ribuan pengguna yang tidak lagi mencari gagasan, tetapi justru menikmati pertikaian tanpa tujuan.

Akibatnya, politik yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan bersama, berubah menjadi permainan destruktif yang mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik. Setiap kali sebuah aib diungkap, setiap kali sebuah hinaan dilemparkan, kita semakin menjauh dari solusi nyata bagi permasalahan di Aceh Tenggara.

Meski demikian, ada pihak yang berargumen bahwa media sosial sebenarnya merupakan alat yang demokratis. Mereka berpendapat bahwa platform ini memungkinkan siapa saja, tanpa memandang latar belakang, untuk terlibat dalam politik dan menyuarakan pendapatnya. Media sosial telah menghapus sekat antara pemimpin dan rakyat, memberikan ruang yang lebih luas bagi diskusi yang terbuka.

Argumen ini tidak sepenuhnya salah. Jika digunakan dengan bijak, media sosial memang bisa menjadi alat untuk membangun dialog yang sehat antara kandidat politik dan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, kenyataannya jauh berbeda. Media sosial lebih sering digunakan sebagai medan pertempuran, di mana yang kuat bukanlah mereka yang memiliki ide terbaik, tetapi mereka yang paling nyaring suaranya, yang paling mampu memanipulasi emosi publik. Sebuah studi menunjukkan bahwa konten yang bersifat negatif dan emosional cenderung lebih cepat menyebar daripada konten yang informatif atau edukatif. Dengan kata lain, meskipun media sosial menawarkan potensi demokratisasi, tanpa pendidikan politik yang baik, potensi ini justru merugikan.

Apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki keadaan? Pertama-tama, perlu ada kesadaran bahwa kualitas politik yang baik tidak hanya bergantung pada siapa yang mencalonkan diri, tetapi juga pada bagaimana masyarakat menilai mereka. Pendidikan politik harus ditingkatkan, baik di kalangan elite maupun masyarakat umum. Pemerintah daerah dan lembaga pendidikan harus mengambil peran aktif dalam memberikan pendidikan politik yang berfokus pada etika dan tanggung jawab sosial. Di sinilah pentingnya mengajarkan masyarakat untuk tidak hanya sekadar mendukung kandidat berdasarkan kesamaan etnis atau keluarga, tetapi juga untuk melihat kualitas kepemimpinan yang mereka tawarkan.

Kedua, penting untuk memperbaiki cara kita menggunakan media sosial. Alih-alih menjadikannya sebagai arena perang, kita harus mengubahnya menjadi forum diskusi yang sehat. Platform ini harus diisi dengan dialog yang memprioritaskan ide, bukan serangan pribadi. Masyarakat Aceh Tenggara bisa belajar dari peradaban-peradaban besar dalam sejarah, seperti Athena kuno, di mana debat dan diskusi terbuka adalah fondasi dari demokrasi yang kuat.

Aceh Tenggara saat ini menghadapi tantangan besar dalam politik, di mana media sosial telah berubah dari alat komunikasi menjadi medan perang emosional. Jika kita ingin melihat perubahan yang berarti, kita harus memulai dengan membangun kembali etika berpolitik dan mendidik masyarakat tentang pentingnya substansi dalam politik. Kita harus beralih dari politik adu domba menjadi politik gagasan. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap bahwa masa depan Aceh Tenggara akan dipimpin oleh pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beretika, demi kesejahteraan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun