Bencana banjir dan longsor di Aceh Tenggara bukan lagi peristiwa yang mengejutkan. Setiap tahun, bencana ini datang menghantui masyarakat, menimbulkan kerusakan dan penderitaan yang sama. Pada tanggal 10 Oktober 2024, curah hujan tinggi kembali menyebabkan banjir besar yang melanda 13 kecamatan dan 81 desa di wilayah ini. Sungai-sungai besar seperti Lawe Kinga, Lawe Alas, Lawe Bulan, Lawe Mamas, dan Lawe Kisam meluap, merusak rumah, fasilitas umum, dan infrastruktur penting. Tidak hanya itu, longsor juga terjadi di beberapa desa, menghambat akses jalan dan aktivitas sehari-hari. Banjir dan longsor ini bukanlah peristiwa pertama, dan tampaknya, tanpa perubahan signifikan, bukan pula yang terakhir.
Bencana yang terus berulang ini mengundang pertanyaan serius tentang tanggung jawab dan upaya pencegahan oleh pihak terkait. Apakah bencana ini hanya masalah alam semata, atau ada faktor lain yang memperparah dampaknya? Jika setiap tahun masyarakat Aceh Tenggara harus menghadapi bencana yang sama, sudah seharusnya pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat, mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah bencana yang berulang ini. Namun, tampaknya, realitas yang terjadi adalah sebaliknya: upaya pencegahan masih jauh dari kata maksimal.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan banjir dan longsor, salah satunya adalah intensitas curah hujan yang tinggi. Namun, dalam konteks Aceh Tenggara, ada faktor lain yang juga berperan besar, yaitu aktivitas manusia yang tidak terkendali. Illegal logging atau penebangan liar telah menjadi ancaman besar terhadap kelestarian lingkungan di Aceh Tenggara selama bertahun-tahun. Hutan-hutan yang seharusnya menjadi penahan air hujan dan mencegah erosi tanah, kini gundul dan tak mampu lagi menjalankan fungsinya dengan baik.
Penebangan hutan secara liar dan masif yang terjadi dalam 10 Â tahun terakhir, ditambah dengan minimnya upaya rehabilitasi lahan, membuat wilayah ini semakin rentan terhadap bencana. Tanah yang kehilangan vegetasinya tidak mampu menahan air hujan, sehingga air langsung mengalir ke permukaan dan menyebabkan banjir. Selain itu, erosi tanah yang terus terjadi memperparah risiko longsor, yang akhirnya menutup akses jalan dan mengisolasi desa-desa.
Namun, illegal logging bukan satu-satunya masalah. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap upaya mitigasi bencana juga memperparah situasi. Dinas terkait, seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Aceh Tenggara, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan pemerintah daerah setempat, tampaknya masih belum mampu memberikan solusi jangka panjang yang efektif untuk mencegah bencana ini terjadi lagi. Apakah mereka menunggu adanya korban jiwa baru untuk bergerak? Atau apakah upaya penanganan bencana hanya dijadikan proyek musiman yang tidak menyentuh akar permasalahan?
Ketika bencana banjir dan longsor terjadi, yang menjadi korban adalah masyarakat. Pada bencana kali ini, sebanyak 1030 kepala keluarga dengan total 4004 jiwa terdampak langsung. Beberapa rumah mengalami kerusakan ringan hingga berat, sementara fasilitas umum seperti masjid, sekolah, dan jaringan irigasi juga tak luput dari kerusakan. Hasil pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber penghidupan warga hancur, menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Selain itu, akses jalan utama yang menghubungkan Kutacane dengan Medan sempat terputus, membuat masyarakat semakin terisolasi.
Namun, meskipun dampak bencana ini begitu besar, korban jiwa dilaporkan nihil. Hal ini tentu menjadi kabar baik di tengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Akan tetapi, apakah ini berarti masyarakat Aceh Tenggara harus bersyukur hanya karena tidak ada korban jiwa, sementara kerugian materi dan trauma psikologis terus menghantui mereka?
Lebih menyakitkan lagi, bencana ini seolah-olah sudah menjadi rutinitas tahunan yang diterima begitu saja oleh masyarakat. Setiap tahun, mereka harus mengungsi, kehilangan harta benda, dan berharap bantuan datang dari pemerintah. Tetapi, apa yang sebenarnya mereka dapatkan? Bantuan sementara yang tak seberapa, dan janji-janji penanganan yang selalu diulang tanpa bukti nyata di lapangan.
Di balik semua kerusakan ini, peran pemerintah daerah patut dipertanyakan. Jika banjir dan longsor terjadi hampir setiap tahun, mengapa tidak ada program kerja yang konkret untuk mencegahnya? Dinas Lingkungan Hidup, BPBD, serta pemerintah kabupaten seharusnya menjadikan ini sebagai prioritas utama dalam program pembangunan. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Upaya mitigasi bencana seolah hanya menjadi formalitas, sementara masyarakat terus menjadi korban yang tak berdaya.
Ironisnya, dana desa yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur pencegahan bencana, seperti bronjong untuk menahan erosi atau perbaikan tanggul sungai, justru sering disalahgunakan. Para kepala desa, yang diharapkan menjadi pemimpin lokal dalam penanganan bencana, terkadang lebih sibuk memperkaya diri sendiri daripada memperjuangkan kepentingan warganya. Hasilnya, setiap tahun bronjong yang dibangun hancur, tanggul jebol lagi, dan banjir pun datang kembali.