Tanggal 1 Mei telah menjadi tonggak sejarah bagi pergerakan buruh di seluruh dunia. Diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau May Day, tanggal ini bukan sekadar momen untuk mengenang sejarah perjuangan kelas pekerja, tetapi juga sebagai panggilan untuk refleksi mendalam tentang hak-hak buruh yang masih terus berjuang untuk diakui dan dihormati.
Sejarah mencatat bahwa setelah masa kolonial, Indonesia dengan gagah berani mewujudkan semangat kemerdekaannya. Di tengah euforia perjuangan untuk kemerdekaan, momentum Hari Buruh kembali diangkat sebagai bagian dari perayaan nasional. Pada 1 Mei 1946, Kabinet Sjahrir menegaskan pentingnya peringatan Hari Buruh, menandakan komitmen awal negara ini untuk menghargai kontribusi dan hak-hak pekerja.
Namun, keberanian untuk menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional baru benar-benar terwujud pada tahun 2013, ketika Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk memberikan pengakuan resmi terhadap pentingnya May Day dengan menetapkannya sebagai hari libur nasional. Keputusan ini seharusnya menjadi tonggak penting dalam perjuangan untuk menghormati hak-hak buruh.
Namun, di balik gemerlap keputusan tersebut, muncul pertanyaan yang menggugah kesadaran: apakah keputusan ini hanya sebatas simbolik belaka, tanpa kekuatan substansial untuk melindungi dan menghormati hak-hak buruh?
Di tengah riuhnya perayaan May Day, pertanyaan tersebut mengemuka: apakah ada undang-undang yang secara tegas menjamin bahwa buruh berhak untuk tidak bekerja pada tanggal 1 Mei dan tetap mendapatkan upah? Jawabannya ternyata lebih rumit dari yang kita bayangkan. Meskipun ada ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1948 yang menyatakan bahwa buruh berhak untuk tidak bekerja pada tanggal 1 Mei, namun ketentuan tersebut tampaknya tidak memiliki gigi yang cukup tajam untuk menjamin pelaksanaannya di lapangan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apa gunanya menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional jika hak-hak buruh tidak dijamin secara substansial? Apakah ini hanya sekadar upaya kosmetik untuk menenangkan nurani publik, sementara kenyataannya hak-hak buruh masih terpinggirkan?
Kritik terhadap kebijakan ini pun mengemuka. Banyak yang berpendapat bahwa hanya dengan menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional belum cukup untuk menghormati perjuangan dan hak-hak buruh. Diperlukan langkah-langkah konkrit yang mengikat bagi pemberi kerja untuk memastikan bahwa buruh benar-benar dapat menikmati hak mereka tanpa takut akan represi atau pemutusan hubungan kerja.
Hal ini mengundang kita untuk merenung tentang esensi dari May Day itu sendiri. May Day bukan sekadar tentang libur nasional atau perayaan meriah, tetapi tentang pengakuan atas martabat dan hak-hak asasi manusia bagi seluruh pekerja. May Day adalah panggilan untuk solidaritas antarburuh di seluruh dunia, untuk bersama-sama menghadapi ketidakadilan dan eksploitasi yang masih merajalela di dunia kerja.
Namun, realitas yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa perjuangan buruh masih jauh dari selesai. Di tengah arus globalisasi dan neoliberalisme, hak-hak buruh seringkali diabaikan demi kepentingan ekonomi yang lebih besar. Upah yang rendah, kondisi kerja yang tidak manusiawi, dan ketidakpastian akan masa depan terus menghantui kehidupan para pekerja di berbagai belahan dunia.
Maka dari itu, May Day harus dijadikan momentum untuk menggalang kekuatan bersama dalam melawan segala bentuk penindasan dan eksploitasi di tempat kerja. Ini adalah waktu untuk memperkuat solidaritas antarburuh, memperjuangkan hak-hak yang adil dan layak bagi seluruh pekerja, tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, atau jenis kelamin.