Oleh : Apriadi Rama Putra
Praktisi Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Aceh Tenggara
Menghadapi maraknya politik dinasti di Aceh Tenggara, seakan kita dihadapkan pada suatu realita yang tak terhindarkan. Rupanya, persoalan ini tidak hanya sebatas cerita di warung kopi saja, melainkan sebuah kebenaran yang memilukan dan meresahkan di ranah Aceh Tenggara sendiri. Sementara elit politik bersengkama di pusat kebijakan, di sekitar Aceh Tenggara masih terasa getaran politik yang belum terselesaikan, dan di depan mata, praktik politik dinasti menjadi pemandangan umum. Lucu memang, tapi ironisnya, itulah potret yang nyata tergambar di lapangan hari ini.
Di Aceh Tenggara, kita menjadi penonton seakan tak berdaya menyaksikan anak-anak pejabat setempat, bahkan pemimpin yang masih memegang kendali (stakeholder), turut serta dalam kontestasi pesta demokrasi tahun 2024. Mereka adalah bagian integral dari republik ini, dan dalam demokrasi, mereka memiliki hak untuk berpartisipasi. Namun, apakah kita dapat menerima dengan lapang dada kampanye yang lebih menekankan "Ini Bapak Saya" daripada "Ini Saya"? Pertanyaan tersebut mencuat, dan semakin membuat kita merenung. Seperti yang dikatakan oleh sahabat nabi Ali bin Abi Thalib "Sesungguhnya pemuda itu ialah yang berani berkata inilah diriku, dan bukanlah pemuda itu yang berkata inilah ayahku" dan seperti Syaikh Musthofa Al-Gholayaini "Sesungguhnya di tangan para pemudalah urusan umat, dan pada kaki-kaki merekalah terdapat kehidupan umat" sepertinya spirit ini sudah tidak berlaku di zaman ini lagi.
Gagasan di Aceh Tenggara tampaknya hanya sebatas angan-angan, terkubur oleh politik identitas dan money politik yang semakin menjadi-jadi. Ini bukan sekadar permasalahan lokal, melainkan cerminan dari cacat pikir generasi muda yang seharusnya sadar dan saya rasa sadar, namun tetap terdiam menyaksikan situasi di Aceh Tenggara. Apakah peran generasi muda yang menyadari kebodohan ini hanya sebatas menjadi pembebek yang hanya mengikuti arahan tanpa mempertimbangkan dampak positif dan negatif secara matang? Dasar generasi titipan senior.
Pertanyaan besar pun muncul mengenai peran generasi muda dalam pendidikan dan pembelajaran, Inovator dan solutif, sgitator sosial dan advokat, penyambung lidah masyarakat, dan katalisator perubahan politik. Apakah kita hanya sebatas berbicara, ataukah kita hanyalah mengikuti tren NATO (No Action Talk Only)? Miris rasanya.
Melalui tulisan ini, saya mengajak generasi muda Aceh Tenggara untuk menggali lebih dalam dan mengambil sikap yang bijak dalam menentukan pilihan pada tanggal 14 Februari 2024, bukan apa kata abang itu. Jangan biarkan pemikiran kritis dan kesadaran akan kebodohan ini hanya menjadi wacana tanpa tindakan nyata. Kita harus membuktikan bersama bahwa generasi muda Aceh Tenggara bukanlah sekadar pembebek, melainkan generasi yang memiliki cinta akan inovasi dan visi untuk kemajuan tanoh alas metuah bumi sepakat segenep Aceh Tenggara ini.
Seperti kata Malcom X, "Masa depan adalah milik mereka yang mau mempersiapkannya hari ini." Dalam sepuluh hari mendatang, mari bersatu sebagai pemuda-pemudi Aceh Tenggara untuk mengampanyekan pentingnya memilih pemimpin dengan visi dan misi yang jelas, bukan sekadar penguasa yang hanya mengambil keuntungan tanpa arah tujuan. Hargai asa dan aspirasi masyarakat, kita sebagai generasi muda sebagai tolak ukurnya, pilihlah pemimpin yang mampu membawa kemajuan segenap Aceh Tenggara yang kita cintai ini. Semoga kita sebagai generasi muda semua dapat membuat perbedaan bukan Generasi Pembebek mengikuri arahan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H