Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu negara agraris terbesar di Asia Tenggara. Dengan lahan yang luas dan iklim yang mendukung sangat mungkin bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara yang maju dalam bidang pertanian.
Tapi meskipun hasil pertanian negeri ini berlimpah, nyatanya nasib petani tak pernah berubah menjadi lebih baik. Dan sekarang, posisi petani semakin tercekik akibat melambungnya harga pupuk, bibit, pestisida, dan bahan pertanian lainnya. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan dan pemanasan global (global warming) yang menyebabkan musim menjadi tidak menentu, yang berujung pada kesalahan musim tanam dan produktivitas yang menurun. Lebih menyedihkan lagi ternyata banyak masyarakat Indonesia yang memandang profesi petani sebagai pekerjaan yang tidak menjanjikan dan identik dengan kemiskinan.
Namun tidak demikian dengan Boedi Krisnawan Suhargo, sebagai seorang pengusaha yang sukses di bidang pengembang perumahan, kini di usianya yang (telah) lanjut, ia memilih untuk mengkonservasi lahan kritis demi pelestarian lingkungan dan kesejahteraan para petani.
Inspirasi Masa Kecil
“Bagaimana petani bisa makmur kalau masyarakat memandang petani sebagai pekerjaan yang hina, dan anak para petani sendiri tidak bercita-cita sebagai petani. Yang muda lebih memilih bekerja di kota, sehingga yang tersisa di desa adalah para petani yang lemah, yang sudah tua. Dengan skill petani yang lemah apakah mereka mampu bersaing di pasaran?” tanya Boedi. Ketertarikan Boedi terhadap kehidupan petani dipengaruhi oleh masa kecilnya yang berasal dari lingkungan petani di Rembang, Jawa Tengah. “Sejak kecil saya telah banyak melihat kehidupan petani,” akunya.
Di sisi lain, banyak organisasi yang mendengungkan pelestarian lingkungan, namun sering melupakan keberadaan masyarakat di sekitarnya yang juga menjadi bagian dari lingkungan. Hal inilah yang membuat Boedi Krisnawan Suhargo, ayah dari dua orang putri ini bertekad mengusahakan pelestarian lingkungan yang diimbangi dengan kearifan menjaga ekonomi lokal masyarakat.
Menurut Boedi, lingkungan dan manusia harus berjalan berdampingan dan saling bersinergi. Setiap usaha pelestarian lingkungan harus diimbangi dengan kearifan menjaga budaya masyarakat dan pemecahan masalah yang berhubungan dengan ekonomi. “Orang harus mengubah definisi hutan lingkungan. Kalau orang bisa menghijaukan hutan tetapi tidak bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya, itu belum (bisa) dikatakan ramah lingkungan, karena masyarakat adalah bagian dari lingkungan. Akibatnya banyak masyarakat yang tetap menjarah hutan,” tandasnya.
Konservasi Lahan
Dari pemikiran yang kritis terhadap lingkungan dan nasib para petani, Boedi kemudian mewujudkan idealismenya melalui pelestarian lingkungan berbasis ekonomi masyarakat pada tahun 2006 dengan mendirikan Vila Hutan Jati. Diawali dengan membeli lahan kritis yang terbengkalai seluas 120 hektar di Desa Jagabaya, Parung Panjang, Bogor, Boedi langsung mengkonservasinya dengan cara memperbaiki kondisi tanah yang terlanjur rusak akibat penambangan tanah merah. “Tanah di sini sudah mengalami kerusakan yang parah. Kadar besinya tinggi. Tingginya kadar besi itu dipengaruhi juga oleh global warming, sehingga hujan yang dihasilkan bersifat asam. Bila air tanahnya mengandung besi dan asam bagaimana tanaman bisa tumbuh,” terangnya.
Untuk mengatasi masalah ini tidaklah mudah. Pasalnya tanah yang akan ditanami terlebih dahulu harus ditebari kapur, setelah itu baru ditimbun kompos. Setelah beberapa bulan, hasilnya kembali dilihat. Bila ternyata derajat keasaman (pH) tanahnya sudah memasuki nilai normal pada skala 6-7, maka lahan itu sudah bisa ditanami. Selain itu, kualitas air pun diperbaiki dengan cara membuat lubang biopori sebanyak-banyaknya. Semua ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan itu semua harus ditanggung oleh Boedi secara pribadi.
Setelah tanah kembali normal, barulah Boedi melakukan penghijauan dengan menanam pohon jati. Pemilihan jati didasari oleh prinsip melakukan penghijauan tanpa mengesampingkan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Menurut Boedi, jati memiliki investasi yang baik di masa depan, namun demikian para investor sesungguhnya telah melakukan kebajikan karena telah menyediakan lahan pertanian baru di lahan kritis bagi masyarakat. “Untuk memulihkan lahan yang kritis itu dibutuhkan biaya yang besar. Dan itu menjadi masalah bagi petani kita yang masih dalam kondisi miskin. Karena itu saya kemudian melakukan ini untuk memberikan contoh bagi yang lain agar bisa berbuat seperti ini dalam menyembuhkan bumi dan kehidupan petani,” ungkapnya.
Memberikan Pelatihan Intensif
Kepedulian Boedi terhadap petani memang dilakukan secara total. Tidak hanya memperbaiki lahan kritis, tetapi juga berusaha memperbaiki pola berpikir para petani yang konvensional menuju pola berpikir yang modern. Melalui program ini ia mulai mengajak penduduk sekitar untuk menjadi mitra dalam menggarap lahannya sebagai petani tumpangsari. Selain diajarkan mengolah lahan kritis, mereka juga diajarkan cara membuat kompos, hidup dengan tanaman herbal, menanam padi dengan cara yang benar, dan manajemen pertanian. Semua diberikan tanpa dipungut biaya. Bahkan Boedi menyediakan tempat tinggal bagi 40 mitranya untuk tinggal di Vila Hutan Jati dan pemberian tunjangan bulanan selama mereka masih belum mandiri.
Menurut Boedi, salah satu pangkal kemajuan para petani adalah bagaimana mengajarkan mereka untuk berpikir kritis dan menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Mengajarkan para petani untuk mampu membuat pupuk sendiri adalah cara cerdas dalam mengatasi keterbatasan infrastuktur dan tingginya pupuk di Indonesia. “Banyak program pemakaian pupuk organik itu gagal. Karena yang paling substansi itu dilupakan. Mestinya petani itu yang dilatih membuat pupuk organik di tempatnya. Jadi tidak benar kalau membuat kompos itu di kota. Itu hanya untuk konsumsi penghobi tanaman, padahal pemakaian kompos terbesar itu ada di pertanian,” katanya dengan kritis.
Selain mengajarkan cara membuat pupuk, Boedi juga mengajarkan kepada para mitranya bagaimana cara menanam padi yang efektif di alam Indonesia, yaitu dengan sistem SRI (System of Rice Intensification), suatu teknik penanaman padi yang mampu menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode lain yang pernah ditanam meskipun dengan bibit dan pengairan yang lebih sedikit. Menurut Boedi, di sistem SRI, padi dikembalikan pada sifat asalnya sebagai tanaman darat dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya. “Cinta kasih itu tidak harus diperlakukan terhadap sesama manusia, tanaman pun harus diperlakukan sama. Pada waktu dipindahin itu harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang,” terangnya. Hasilnya sangat mengejutkan, dalam satu hektar tanah yang biasanya menghasilkan 4 ton, dengan sistem SRI mampu menghasilkan 8 ton, bahkan bisa mencapai 10-15 ton/ha.
Terakhir Boedi berharap apa yang ia kerjakan ini bisa menarik pihak lain untuk mau bersama-sama menyembuhkan bumi tanpa menghiraukan keberadaan masyarakat di sekitarnya. “Kalau ini dibicarakan bisnis, itu hampir nol bagi saya. Saya hanya ingin banyak orang yang bergabung, banyak orang yang peduli, ya terutama dari teman-teman relawan. Ribuan lilin cahayanya akan lebih terang dibandingkan cahaya satu lilin,” kata Boedi. Maka dari itu, Boedi mengharapkan adanya kebersamaan untuk mewujudkan lingkungan yang hijau dan petani yang makmur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H