Seorang perawat muda bertopi putih sedang sibuk membenahi setumpuk kertas penuh catatan dari meja kayu berwarna cokelat. Ia adalah Suster Siti Nurdjaja Soltief relawan pemerhati dan pendamping HIV/AIDS di Jayapura, Papua. Dokter Gunawan seorang relawan Tzu Chi yang juga penggiat HIV/AIDS memperkenalkan Siti kepada saya dan memintanya untuk bercerita tentang pengalamannya. “Apa yang bisa saya ceritakan kepada teman-teman?” tanya Siti dengan ramah. “Ceritakanlah semua pengalamanmu sebagai relawan HIV/AIDS dan gunakan pengalamanmu untuk menggugah banyak orang,” jawab dr. Gunawan. “Baiklah,” jawab Siti. Ia pun mengajak saya ke sebuah ruangan yang tenang di suatu sudut kantor rumah sakit. Lalu sambil duduk dengan sikap yang terhormat Siti kembali bertanya “Apa yang ingin ditanyakan dan dimulai dari mana?” “Dari yang paling lampau,” jawab saya.
Sesudah menghembuskan nafas panjangnya, Siti pun mulai bercerita. Dulu sekitar tahun 1997 seorang teman kuliahnya menderita sebuah sakit yang berat – ada benjolan besar di kedua ketiaknya. Semula tim medis menduga kalau temannya itu terkena penyakit kanker kelenjar. Tapi beberapa saat kemudian suasananya jauh berbeda dari yang Siti perkirakan. Sang teman langsung dipindahkan ke sebuah ruang khusus yang tidak dicampur dengan pasien lain. Para perawat pun memperlakukannya dengan sangat hati-hati dengan perlindungan diri yang berlebihan. Menurut desas-desus yang ia dengar, ternyata sang teman telah terinfeksi virus HIV (human immunodeficiency virus, sebuah virus yang menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi). Namun yang membuat Siti semakin prihatin adalah kekhawatiran dari banyak orang terhadap temannya yang terlalu berlebihan. Dalam hati kecilnya Siti menangis. Ia pilu tatkala melihat sang teman tak mendapatkan perhatian apalagi penghiburan. Dari peristiwa itulah Siti memberanikan diri untuk merawat temannya. Berawal dari suatu perhatian yang penuh empati, Siti terus membangun komunikasi yang intens dengan sang teman. Ia bukan saja merawatnya tapi juga telah menjadi tempat curahan emosi bagi sang teman.
Pada suatu hari dari banyaknya hari yang menyiksa, Siti mendapati temannya dalam ratapan yang pilu menyayat hati. Kemudian dengan sikap yang penuh kasih Siti mendekatinya, seraya berkata “Kawan janganlah kau terus berteriak nanti kau semakin capek. Tapi cobalah kau menarik nafas dan berbicaralah kepada Tuhan.” Sang teman justru berkata sebaliknya, “Aku tak mau peduli, karena Tuhan sudah tak mau dengar doaku.” Seketika itu pula hati Siti langsung trenyuh. Dalam benaknya timbul berbagai pertanyaan: akankah ia bisa disembuhkan, akankah karena sekali kesalahan ia dicap sebagai seorang pendosa seumur hidup. Dan akankah ia bisa diterima kembali oleh masyarakatnya. Esok harinya sang teman pun meninggal dunia. “Ia adalah pasien ODHA (orang dengan HIV AIDS) pertama dan yang membuat saya bertekad merawat ODHA yang lain,” kata Siti.
Sejak peristiwa itu Siti perlahan-lahan mulai mendalami informasi tentang HIV dari berbagai sumber terutama ketika ia berkenalan dengan dr Gunawan yang sudah lebih dulu menjadi relawan pemerhati HIV. Ia juga secara swadaya melakukan kunjungan kasih kepada para ODHA dari rumah ke rumah. Hingga akhirnya ia rela menjadikan rumahnya sebagai tempat tinggal sementara bagi para ODHA yang sedang menjalani terapi. “Di rumah saya semuanya bagai keluarga. Kita saling membantu, saling memperhatikan,” aku Siti.
Setelah berhenti bercerita, Siti menatap saya dalam-dalam. Lalu ia berkata kalau wanita muda di depan, di ruang tunggu rumah sakit adalah seorang OHDA yang berhasil menjalani terapi pengobatan dan hidup secara normal bersama suami dan ketiga anaknya. “Kaibena nama wanita itu. Ia adalah pasangan diskordan (hanya salah satunya yang terinfeksi HIV), suaminya dan ketiga anaknya dipastikan negatif HIV,” jelas Siti.
“Bagaimana bisa?” tanya saya heran. “Inilah yang banyak tak diketahui masyarakat umum. Banyak orang membuat stigma tidak baik terhadap penderita HIV, mereka menganggap penderita HIV tidak bisa hidup normal dan kehilangan hak reproduksi mereka. Asal ditangani dengan tepat mereka (para ODHA) bisa hidup normal dan berdampingan dengan kita,” jawab Siti.
Siti pun mulai bercerita tentang kehidupan Kaibena. Kaibena adalah seorang wanita muda yang berhati luas. Ia terlahir sebagai Suku Dani dan besar di Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Semula Kaibena seorang gadis yang ceria, kuat, dan tangkas. Sampai sebuah virus yang tak biasa datang dan mulai menggerogoti kekebalan tubuhnya. Kaibena yang belum paham tentang HIV/AIDS hanya menganggapnya sebagai penyakit biasa. Tapi semakin lama ia acuhkan vitalitas tubuhnya justru semakin menurun. Berat badannya turun secara drastis, nafsu makannya berkurang bahkan penyakit batuk dan diare yang biasanya mudah sembuh, di tubuh Kaibena menjadi sulit disembuhkan. Sementara Kaibena belum mengetahui penyakit yang dideritanya karena pihak medis tidak memberitahukan secara terbuka, justru masyarakat di Puncak Jaya sudah heboh membicarakan dirinya. Karena beritanya sedemikian santer, Kaibena pun akhirnya pindah tinggal di salah satu rumah bibinya di Puncak Jaya yang tidak ditempati. Di rumah ini Kaibena bagaikan terasing. Ia tak mendapatkan perhatian, penghiburan, bahkan kasih sayang.
Kebetulan saat Siti sedang menjalani lawatan ke Puncak Jaya pada akhir tahun 2004, ia mendengar isu ini. Hatinya langsung tergerak. “Di mana tinggalnya anak itu? Tolong antarkan saya kepadanya,” pinta Siti kepada seorang warga. Ketika tiba di rumahnya hari sudah beranjak malam. Siti langsung mengetuk pelan pintu rumah. Perlahan-lahan pintu terbuka dan sosok Kaibena muncul dari balik cahaya yang temaram. Ketika itu Kaibena dalam keadaan lemah, tubuhnya kurus dengan wajah yang sendu. Dengan hormat dan sikap yang menunjukkan kasih sayang, Siti mendekati Kaibena lalu menceritakan permasalahan yang sebenarnya. Kaibena hanya terdiam, ia tak banyak bicara atau pun bertanya. Tapi sesudah itu Siti meninggalkan secarik kartu nama pada Kaibena. “Simpan jika suatu waktu kamu ada masalah dan butuh saya, hubungi nomor ini,” pesan Siti. Beberapa lama kemudian Kaibena pun menelepon Siti. “Kakak saya hamil,” kata Kaibena dalam telepon. “Hamil berapa bulan?” tanya Siti. “Lima bulan,” balas Kaibena. “Kalau begitu kau ingin baik kan bersama anakmu? kau sebaiknya turun (turun gunung ke Jayapura),” saran Siti.
Atas segala daya upaya akhirnya Kaibena tiba di Jayapura. Selama satu tahun tinggal di rumah Siti dan menjalani terapi Antiretroviral (ARV) inilah kesehatan Kaibena berangsur-angsur membaik, bahkan bayi yang dilahirkannya pun dalam keadaan sehat dan tidak terinfeksi virus HIV. Namun setelah selesai menjalani terapi pengobatan dan berpisah cukup lama dengan Siti, suatu hari Kaibena kembali menemui Siti dan berkata kalau ia mencintai seorang pemuda dan berniat untuk menikah. Hal ini jelas mengejutkan Siti, tapi dibalik itu ia bangga pada sikap Kaibena yang berani bertanggung jawab dan peduli kepada pasangannya. “Kau beri tahu kah keadaanmu kepada pasanganmu?” tanya Siti. “Sudah,” jawab Kaibena. Siti pun langsung menemui Jack pria yang dicintai Kaibena dan dipercaya untuk menjadi ayah dari anak-anaknya.
Cinta Tak Pernah Membedakan
Jack Alom adalah seorang pemuda yang gagah, fair, dan berani. Ia berasal dari Distrik Ilaga yang berpemandangan indah di Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Cita-citanya ia ingin menjadi seorang pemuda yang bisa membangun Puncak Jaya menjadi lebih baik, nyaman, dan sejahtera. Makanya setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas, Jack langsung melanjutkan kuliah di jurusan komunikas di sebuah Universitas Swasta di Jayapura. Saat memasuki semester ketiga dan waktunya untuk berpraktik lapangan Jack bersama seorang kakak kelasnya memilih Distrik Sentani sebagai zona riset lapangan mereka. Di tempat inilah ketulusan dan kisah kasih Jack dibuktikan.
Waktu itu di tengah hari yang terik, Jack baru saja bangun dari tidurnya. Dalam samar-samar penglihatannya ia melihat sesosok wanita muda yang sedang membagikan nasi kepada para mahasiswa. Wanita itu adalah Kaibena. Entah apa yang membuatnya tertarik dan seolah sudah menjadi suratan takdir, Jack langsung jatuh hati kepada Kaibena. Ketika Jack menyapanya, Kaibena membalasnya dengan santun, lalu mereka saling berkenalan dan bertukar nomor telepon. Dari obrolan pertama ternyata mereka memiliki satu kesamaan yang tak terduga, mereka sama-sama berasal dari Kabupaten Puncak Jaya. Sejak itulah hubungan Jack dan Kaibena terus terjalin dan semakin lanjut ke arah yang lebih dari sekadar pertemanan.
Semakin sering mereka menghabiskan waktu bersama, rasa sayang pun semakin tumbuh di antara mereka. Hingga pada suatu hari Jack mengajak Kaibena untuk berbincang di suatu tempat yang sunyi. Di bawah langit yang cerah, di tengah udara yang lembab, dalam sebuah suasana yang romantis, tiba-tiba Jack mengaku, “Aku mencintaimu dan ingin menikahimu.” Kaibena hanya terdiam lalu mengajukan sebuah pertanyaan, menguji keseriusan lelaki di hadapannya, “Apakah kamu bersedia menerima saya apa adanya?” tanyanya. Dan sebelum Jack menjawabnya Kaibena pun langsung berterus terang, bahwa ia telah terinveksi HIV saat berusia belasan tahun dan kini ia telah memiliki 2 orang anak. Kaibena juga menceritakan kalau ia pernah mengalami perlakuan diskriminasi dari masyarakat dan keluarganya ketika kali pertama virus HIV terdeteksi di dalam tubuhnya. “Mereka (masyarakat Puncak Jaya) sangat membenci saya. Ada yang bilang wanita itu (Kaibena) masukkan saja ke dalam karung lalu buang,” aku Kaibena sedih. Ketika itu ia merasa sangat sedih dan terpukul. Tapi seiring berjalannya waktu, ia sadar kalau dirinya sebagai ODHA bukanlah akhir dari segalanya. Dari pada larut dalam kesedihan, ia lebih memilih mengurusi dirinya sendiri, anak-anaknya, dan menginspirasi banyak orang dari kisah hidupnya. Dengan begitu Kaibena berharap dapat membantu banyak orang dan membuat dunia tergerak.
“Kalau manusia yang menilai memang bilang ini baik dan itu buruk. Tapi kalau menurut Tuhan semuanya adalah baik. Semuanya Tuhan yang menentukan, semuanya Tuhan yang menciptakan. Keinginan Tuhan itu berbeda dengan keinginan manusia. Saya bersedia,” jawab Jack tegas.
Hari berikutnya Kaibena mengajak Jack untuk melihat keadaan yang sesungguhnya. Jack diajak untuk menemui putrinya yang baru berumur dua tahun. Jack yang belum pernah memiliki anak tiba-tiba langsung menyukai putri kedua Kaibena, seraya berucap, “Ya Tuhan, Kamu Maha Baik, Kamu sudah memberi saya seorang anak.” Jack langsung mengangkat anak itu dan mengajaknya bermain. Itulah bukti keseriusan Jack pada Kaibena yang akhirnya dibalas Kaibena dalam lekatan cinta. Tapi saat Jack menemui salah seorang yang dituakan di keluarga Kaibena untuk mengutarakan rencana pernikahannya, Jack malah dimarahi atas keputusannya untuk menikahi Kaibena. “Kau lelaki gagah. Anak Puncak Jaya, sudah sekolah tinggi, mengapa mau menikahi wanita ini. Mau cari mat kah kau?” hardiknya. Jack hanya diam, namun setelah itu Jack berkata kalau ia memang tulus mencintai Kaibena. Ia ingin menikahi Kaibena dan hidup berdampingan untuk selamanya. “Berani berbuat berani bertanggung jawab,” itulah janji Jack kepada saudara Kaibena. Tak lama kemudian mereka pun menikah dalam sebuah ikatan yang penuh janji dan cinta.
Kini setelah tiga tahun menikah Kaibena kembali mengandung. “Ini adalah anak keempat,” kata Jack bangga kepada saya di suatu pagi di sudut ruang tunggu rumah sakit. Hari itu setelah selesai berdiskusi dengan saya rencananya Jack dan Kaibena berencana akan menemui seseorang yang akan menyewakan sebidang tanah kepadanya. Menurutnya di sebidang tanah yang terletak di atas bukit itu akan mereka bangun sebuah pondok kecil sebagai sarang cinta mereka. “Di sana tempatnya baik dan tidak sulit air,” kata Jack. Tapi sebelum pulang dr. Gunawan dan Suster Siti mengajak Jack dan Kaibena untuk menghadiri pertemuan para calon relawan pemerhati HIV/AIDS di suatu gereja di Jayapura. Kaibena menyanggupinya demikian pula Jack. Maka detik itu pula kami langsung berangkat menuju gereja yang terletak di atara perumahan rakyat.
Sesampainya di gereja para relawan menyalami kami dengan hangat, lalu mempersilahkan kami duduk di balik meja rapat yang melingkar. Salah seorang relawan bertanya kepada Kaibena dari siapa ia terinfeksi virus. Kaibena pun menceritakan pengalamannya, perjuangannya, dan pertemuannya dengan Suster Siti. Tapi setelah itu si relawan tadi kembali mempertegas pertanyaannya, “Maksudnya dari siapa Kaibena terinfeksi?” Kaibena hanyaterdiam. Lalu Siti langsung memotong pembicaraan. Ia menjelaskan kalau ini adalah bagian dari privasi Kaibena. Ada hal yang bisa ia jelaskan secara terbuka, tapi ada hal yang tak ingin ia jelaskan kepada umum. “Saya harap kita bisa menghargai privasi Kaibena,” jelas Siti. Forum pun sepakat. Dan sebelum kami pulang, Siti berkata kepada saya inilah yang masih sering ia temukan di tengah masyarakat – stigma negatif terhadap para ODHA. “Kalau begitu apa yang bisa saya sampaikan kepada banyak orang?” tanya saya. “Sampaikan berita yang benar agar masyarakat tidak mendiskriminasikan para ODHA,” pesannya. Kami pun berpamitan pada forum, lalu pergi mengantar Kaibena dan Jack ke Distrik Waena yang berbukit untuk bertemu dengan seorang pemilik tanah. Selama di perjalanan Jack bercerita banyak tentang budaya di kampungnya, keluarganya, dan kesempatan berkarir di pertambangan Freeport. Tapi menurutnya ia lebih memilih tinggal di Jayapura demi Kaibena. “Di Freeport gajinya besar, tapi bertemu keluarga itu dibatasi, hanya sekali dalam seminggu. Itu pun melalui prosedur yang ketat. Saya lebih memilih di sini tinggal bersama keluarga,” kata Jack dengan logat Papua yang kental.
Sampai di suatu persimpangan di tengah lapangan yang gersang, kami pun berpisah. Dr Gunawan menyalami Kaibena agar sehat selalu dan berpesan kepada Jack untuk siaga menjaga Kaibena. Mereka berdua berjalan sambil bergandengan tangan, lalu sambil tersenyum melambaikan tangan kepada kami – salam perpisahan dari sebuah pertemuan yang singkat.
Dua minggu kemudian, setelah kembali dari tanah Papua, saya banyak berkomunikasi dengan Suster Siti melalui layanan pesan singkat (SMS). Menurutnya, Kaibena adalah inspirasi kehidupan. Saya pun sepaham dengannya. Setelah melalui pengalaman diskriminasi yang panjang, tak ada dalam diri Kaibena untuk menjadi dendam. Ia justru menjadi sangat peduli pada penyakitnya dan orang-orang di sekitarnya untuk turut peduli pada HIV. Bahkan di kampungnya Kaibena berperan mengajak orang-orang yang terindikasi HIV atau yang berperilaku beresiko untuk menjalani tes HIV. Kaibena memang contoh inspirasi dari sebuah ketulusan. Ia bukan saja berani, tetapi juga peduli pada masyarakatnya. Jika kasih itu universal adanya maka selaiknya kita dapat menerima siapa pun tanpa memandang kondisi dan latar belakang. Dan jika orang seperti Kaibena sudah berani bertanggung jawab dan peduli pada penyakitnya, akankah kita terus memberi stigma negatif kepada para ODHA?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H