Seorang teman saya yang bernama Hok Cun pernah mengatakan bahwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta tempat ia bertugas sebagai relawan Tzu Chi adalah ladang terbaik untuk melatih diri dan kepekaan emosi. Saat menceritakan pengalamannya Hok Cun mengisahkan dengan penuh semangat, menarik, dan menakjubkan bagi saya. Tetapi sayang, saya masih terlalu dangkal untuk memahami arti “pelatihan diri” itu.
Tergoda dengan informasi yang ia berikan, maka pada Jumat, 14 Januari 2011, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi RSCM Jakarta. Setibanya di rumah sakit itu, hari sudah beranjak siang, udara pun sudah semakin panas dan gerah karena dipadati oleh pengunjung yang membludak.
Di sepanjang lorong rumah sakit yang saya lalui, saya tak menemukan satu keceriaan pun selain wajah-wajah cemas dan lesu. Wajah yang mengisyaratkan bahwa mereka sangat ingin hidup. Bahkan saat saya memasuki salah satu gedung praktik dokter, suasananya semakin riuh oleh banyak pasien dengan beragam penyakit. Suara batuk yang meradang dari tubuh-tubuh lemah, tumor yang menyembul dari balik tubuh pasien, dan balutan perban bekas luka operasi menjadi pemandangan yang membuat saya mengernyitkan dahi. Semua itu, membuat saya tak dapat bernapas dalam-dalam. Saya kelu.
Merasa tak tahan dengan semua yang saya lihat akhirnya saya meninggalkan gedung itu untuk menjumpai Hok Cun di salah satu lorong, tempat di mana ia biasa melayani pasien penerima bantuan. Tetapi sesampainya di tempat itu, ternyata Hok Cun sedang tidak berada di tempat. Sebagai gantinya, saya berjalan mencari tempat yang agak sepi dan bersih untuk beristirahat. Sampai di sebuah taman yang berisikan alat permainan anak-anak, saya menghentikan langkah lalu berteduh di bawah pohon Mahoni yang tumbuh rindang di tengah taman.
Di tengah terik matahari saya melihat ada satu keluarga – ayah, ibu, dan seorang anak menghampiri taman. Sang ayah adalah seorang pria muda dengan wajah yang pucat pasi seperti seseorang yang kehilangan harapan. Sedangkan sang ibu nampak tegar sambil duduk membelakangi matahari dan membiarkan bayang tubuhnya melindungi sang anak dari sengatan matahari. Ia lalu mengeluarkan sebungkus nasi dari tas kulitnya yang lusuh.
Kemudian dengan penuh perasaan ibu itu menyuapi anaknya yang telah bersimpuh layu di hadapannya. Wajah anak itu pias (pucat pasi). Ia tak tersenyum tak pula cemberut, tetapi menatap rerumputan dengan kosong, seakan semua imajinasinya ia benamkan ke dalam tanah. Tangan kirinya memegang erat botol air mineral, sementara tangan kanannya teguh memutar-mutar tutupnya. Saat sang anak mengunyah lembut makanannya, sang ibu terpekik kecil. Rupanya jari ibu itu tertusuk duri ikan yang dipegangnya. Setelah ujung jarinya ditekan-tekan dan dihisap lembut, ia kembali menyuapi anaknya dan melupakan semua rasa sakitnya. Bahkan ia terus tersenyum melihat putranya yang lahap menikmati makan. Sungguh tak sampai hati saya menatap keluarga itu. Saya tatap lama wajah ibu itu, tetapi aneh saya tak menemukan kesedihan di raut wajahnya. Saya justru seakan-akan melihat wajah ibu saya dan diri saya puluhan tahun silam saat saya masih kanak-kanak. Saya melihat, saat saya berlari kecil mengelilingi halaman rumah dan ibu berada di belakang membawa sepiring nasi, saya justru melihat rengekan saya saat mengunyah biji melinjo, dan ibu segera menggantikannya dengan segelas teh manis. Siang itu saya sungguh melihat masa lalu saya bersama ibu dari satu keluarga yang tak saya kenal.
Saat dalam lamunan saya berpikir banyak hal yang saya pelajari hari itu – kasih sayang, pengorbanan, bakti, dan keberanian untuk bersikap teguh menyayangi orang tua. Keluarga itu telah mengingatkan saya bahwa mengasihi dan menyayangi orang tua adalah hal terpenting dalam hidup ini. Saya baru memercayai apa yang dikatakan Hok Cun bahwa di RSCM ada banyak mutiara, karena salah satunya baru saya temukan.
****
Cahaya matahari terus meninggi dan mencapai puncaknya tepat di ubun-ubun kepala saya. Panasnya menerpa tanpa ampun. Setelah memperoleh inspirasi dari keluarga tak dikenal, rasa gembira menyeruak dalam hati saya mengalahkan keluh kesah, karena dapat mengenang kembali peristiwa lebih dari 2 dasawarsa yang lalu. Namun tak dinyana sebuah kerinduan kembali hadir tat kala saya menyaksikan seorang ayah berjalan ke arah saya sambil menuntun putrinya. Percakapan mereka membuat saya kelu dan terasa ngilu menghujam kalbu. Sebab mengingatkan saya pada almarhum ayah yang setia menuntun dan menceritakan banyak hal tentang dunia ini.
Saya termenung, rasa kesepian tiba-tiba merasuki saya dari segala penjuru. Rupanya segenggam cinta kasih orang tua tak akan habis untuk seorang anak seumur hidupnya. Namun kesibukan menjalani kehidupan, terkadang membuat saya sejenak melupakan kasih orang tua yang sesungguhnya tiada bertepi.
“He he he…” Hok Cun tertawa renyah kepada laki-laki beranak satu itu. Laki-laki itu bernama Kusmiran, usianya tak lebih dari 38 tahun, bertubuh langsing dan berwajah tirus. Di bahunya tersandang tas ransel hitam yang terkoyak berisi makanan dan minuman untuk putri semata wayangnya – Rasya Rahmasari.
Wajah Rasya berbentuk bulat telur. Matanya indah bersorotkan cinta yang menusuk hati. Bahkan setiap kali ia berkedip, sayup-sayup bulu matanya yang lentik terlihat gemulai bagai nyiur melambai-lambai. Ia terlihat begitu mungil dengan busana muslim berwarna merah jambu. Setelah beberapa saat bermain bersamanya, saya tidak menemukan keceriaan khas anak-anak di balik wajahnya yang melankolis. Ada sesuatu yang berbeda di dalam diri Rasya. Entah itu sebuah pengalaman atau derita yang berkepanjangan. Yang jelas setiap kali saya menatap wajahnya dalam-dalam, saya kelu. Di mata saya, Rasya tak ubahnya miniatur kehidupan. Kasihan anak sekecil itu.
Derita Bertubi-tubi
Sejak belasan tahun yang lalu, Kusmiran yang berasal dari Purwokerto bekerja sebagai pedagang rokok di bilangan Margonda, Depok, Jawa Barat. Ia membanting tulang mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk mencukupi semua kebutuhan keluarga yang ia bangun sejak tahun 2003. Tapi pada tahun 2005, istrinya yang bernama Tuslima menderita miom (tumor rahim) dan harus dioperasi demi keselamatan dirinya. Maka, Kusmiran berusaha keras mencari pinjaman uang dari beberapa kerabat untuk membiayai operasi ini.
Satu tahun berikutnya (2006), hasil operasi itu mulai memberikan hasil yang menggembirakan, Tuslima dinyatakan positif hamil dan memberikan harapan baru bagi mereka berdua. Kendati demikian, Tuslima tak bisa melahirkan secara normal, persalinan cesar pun dijalankan demi kelahiran putri tercinta mereka – Rasya Rahmasari pada pertengahan tahun 2007.
Saat Rasya berusia 1 tahun (2008), musibah kembali datang dengan ditemukannya benjolan kecil di belakang leher Rasya dan miom yang kembali tumbuh serta terdeteksinya kanker payudara pada Tuslima. Tak terperi penderitaan Kusmiran saat itu. Bagaikan berjalan di dalam labirin, ia tak tahu harus berjalan ke arah mana, karena semua lorong seolah berujung buntu.
Lagi-lagi dengan penuh harapan Kusmiran mengusahakan dana untuk mengobati anak dan istrinya. Dengan dana terbatas, Kusmiran hanya bisa membiayai operasi tumor yang diderita Rasya. Tapi bersama itu, kondisi kesehatan Tuslima semakin memburuk. Miom di rahimnya semakin membesar sedangkan kanker payudaranya sudah masuk stadium lanjut. Kusmiran serasa terpuruk dalam kolam berlumpur pekat. Tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu tenggelam.
Kendati di tengah keputusasaan, Kusmiran masih berusaha keras mencari secercah keberuntungan dengan mengajukan permohonan bantuan ke berbagai lembaga. Tapi sekeras usaha yang ia lakukan tak ada satu lembaga pun yang bersedia memberikan bantuan pengobatan kepada istri dan anaknya. Setelah lama bersusah payah mencari bantuan pengobatan yang tak kunjung hasil, Kusmiran akhirnya memutuskan untuk menjual rumah mungilnya dengan harapan sebagian dari hasil penjualan rumah itu bisa ia gunakan untuk membiayai operasi pengangkatan miom dan kanker payudara istrinya.
Tahun 2009, kali kedua Tuslima menjalani operasi pengangkatan miom, dan kali pertama untuk operasi kanker payudara. Di tengah kebimbangan batin dan setengah putus asa, Kusmiran bertemu dengan salah satu pasien penerima bantuan Tzu Chi yang menjadi teman sekamar Tuslima selama dirawat di rumah sakit. Dari pasien itulah akhirnya Kusmiran memberanikan diri mendatangi kantor Tzu Chi dan mengajukan permohonan bantuan. Sejak itu pula permohonan Kusmiran disetujui dengan mendapatkan biaya tunjangan hidup setiap bulan. Meski tidak dalam jumlah besar tapi tunjangan itu cukup meringankan Kusmiran untuk membiayai kemoterapi istrinya.
Belum selesai istrinya menjalani kemoterapi dan terbebas dari kanker payudara, ketenangan Kusmiran kembali terusik saat pindaian medis menerangkan tumor di belakang leher Rasya adalah tumor Domi Sarkoma (tumor ganas). Sampai di sini keteguhan hati Kusmiran mulai melapuk. Tapi bayangan keramahan relawan Tzu Chi telah membuat Kusmiran berbesar hati untuk kembali mengajukan bantuan. Kendati permohonan pengobatan Rasya disetujui oleh Tzu Chi, batin Kusmiran tak pernah bisa tenang. Pasalnya semakin hari kondisi istrinya semakin memburuk dan itu membuat ia harus rela ngeletih badan (kelelahan), menahan kantuk, dan amarah demi satu tujuan: menjaga cinta dan kesetiaan.
Awal Desember yang semestinya memberikan keceriaan bagi banyak orang, justru menjadi kelabu bagi Kusmiran saat Rasya harus menjalani operasi dan Tuslima dalam keadaan sangat kritis –tangannya bengkak dengan payudara yang terus mengeluarkan darah. Kusmiran hanya bisa menatapnya penuh makna, namun tak tumbang oleh kekhawatiran, karena ia masih berharap istrinya bisa disembuhkan. Dalam hening Kusmiran berdoa, memohon sebuah keajaiban untuk istri dan putrinya. Dan dalam detik-detik penantian, deras air mata terus mengalir membasahi pipinya, dadanya semakin sesak menghembuskan udara. Karena setiap udara yang ia hembuskan selalu tersirat kerinduan dan kepedihan yang beraroma luka. Pun demikian, semua itu harus ia tanggung dengan tabah –Tuslima akhirnya meninggal dalam perjuangannya melawan sakit kanker pada awal Desember 2010. Tak terperi penderitaan Kusmiran pada saat itu. Namun mengingat masa depan Rasya yang harus dijalani dengan penuh kasih sayang, ia terus bangkit dan tak terbelenggu dalam kesedihan. Bagi Kusmiran menjalani kehidupan seperti dirinya diperlukan bukan sekadar keberanian, tetapi juga kesetiaan dan tanggung jawab.
Kini setelah 40 hari berlalu dari sepeninggalan Tuslima, luka operasi Rasya sudah mulai mengering. Dan hasil diagnosis menunjukkan tumor itu mulai menjinak. Sebuah hasil yang menggembirakan bagi Kusmiran, meski harus ia pendam sendiri di dalam hati. ”Saya senang mendengar Rasya lebih baik. Tapi sedih karena mamanya tidak mendengar berita baik itu,” kata Kusmiran dengan tegar. Rasya pun kini telah tumbuh menjadi anak yang tahu bersyukur. Setiap kali ia berkunjung ke rumah sakit dan bertemu Hok Cun, ia selalu memberikan sedikit uang sakunya kepada Hok Cun. Bahkan hal yang membuat Rasya menginginkan pergi ke rumah sakit adalah menemui Hok Cun dan menyerahkan segenggam uang yang ia miliki. ”Berapa pun yang ia miliki, ia berikan untuk sumbangan,” jelas Kusmiran.
Saat waktunya tiba bagi Rasya untuk memeriksakan diri, ia berjalan dengan gemulai meninggalkan kami. Sambil dituntun ayahnya, sesekali ia menoleh ke belakang, melambaikan tangannya dan tersenyum puas seakan semua deritanya telah ia tumpahkan pada hari itu
Sulit membayangkan jika saya berada di posisi Kusmiran. Tapi Kusmiran yang saya jumpai, terlihat sangat tegar menceritakan semua kisah hidupnya tanpa tedeng aling-aling. ”Cinta adalah semangat hidup saya,” kata Kusmiran.
Kisah Kusmiran adalah mutiara kedua yang saya dapati hari itu. Sebuah kisah yang memberikan pesan bahwa rintangan hidup akan membuat kita semakin kuat dan tegar. Kusmiran telah melalui semua deritanya dan ia nampak lebih kuat menghadapi hidup dan memandang masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H