kadang aku ingin menulis tentangmu dengan sederhana
layaknya ajaran Sapardi tentang hujan di bulan juni
atau ringkasnya puisi Chairil pada bait-bait yang mumpuni
tanpa perlu diksi-diksi yang sulit kau terjemahkan
karena beberapa makna harus kusembunyikan
agar kau tak paham,
seberapa jauh nyeri mendekam
sering aku mengingatmu dengan penuh tawa
kembali pada masa dimana hanya ada cita dan cinta
tak perlu berjibaku dengan lara
tapi masa-masa yang telah terlewat hanya indah dalam diorama masa lalu
merumah di sudut jemala beserta ragu
haruskah makam seiring malam?
meledak bersama ribuan gemintang
cukup pendarnya yang kuingat sebagai kenang
sampan prahara kukayuh tanpa tergesa-gesa
kunikmati setiap luka dalam biduk sebanyak-banyaknya
kutulis dalam puisi-puisi yang takkan kau baca
karena belum, belum saatnya kau sepenuhnya hilang
meski hanya nelangsa yang bisa kupeluk kini
maka bersenang-senanglah, Sayang
dalam pusaran bianglala duka
sebelum akhirnya kau kupersilakan pergi
mengabadi dalam jejak-jejak silam yang muram
mengabur bersama sapuan kabut pukul lima pagi
lalu kukirimkan sebait aksara tentang belasungkawa,
ke jauh bumantara saat arunika tiba
- Jakarta, 05 Juli 2020 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H