Sepanjang hari ini hujan, Tuan. Sorai bentala mengecup derai dengan selamat datang. Tapi aksara masih pulas, enggan beranjak dari gelimun mimpi tentang kita di masa silam. Kabur ingatan, sudah berapa hari sejak kau tak pulang. Yang kutahu, bertalu-talu rasa masih berdebam. Tak pernah bukan kau.
Semburat jingga berganti kelabu. Kutemukan lagi kau di selipan tawang bersama camar yang mengaduh pilu. Pulang bagi sebagian adalah tanda cinta paling nyata. Sayangnya, beberapa memilih pulang sebagai jalan untuk kembali beradu sambat. Berkilah mana yang terbaik, menyingkirkan sembilu yang terbalik.
Aku terdiam di sudut ruang. Meniti ingatan, tentang pertemuan kali pertama Tuan datang. Sempurna kilasan berkelebat di jemala. Satu per satu diorama bermain, hingga kau berhitung. Berhitung tentang jarak dan mimpi yang berserak. Betapa sekian warsa tak mampu mengubah segala. Betapa takdir, mampu meluluhkan angkara.
Waktu terus bergulir. Detik tetap berderap. Degup masih memberontak. Dingin tak menggoyahkan ingin. Lelah tak berujung pasrah. Beberapa pilihan bisa kau ambil, tapi nyali mengerucut. Tak mampu kau tebas impian yang kini carut marut.
Pada gawai masuk sebuah pesan:
Ar...
Bagaimana bisa aku lupa, meski raga tak ada.
Masih engkau yang berkelana dalam belantara atma.
Masih engkau yang tegap dalam singgasana, saat narpati mengaduh gulana.
Sampai nanti, Ar, kita berjumpa.
Saat bumi pulih, dari sekian perih.
Aruna...
Sorak-sorai tempias derai. Merasuk lewat celah jendela kamar. Tuan selalu kembali, dengan cara yang kau tak kau kira. Tergesa-gesa dan bergetar, ia membalas pesan dalam gawai.Â
Semoga.
Secepatnya, Tuan.
- Jakarta, 28 Maret 2020 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H