Kesunyian menasbihkan dirinya sebagai sangkur aksara. Dalam dunia penuh kata-kata, tutur seakan kembali sifar. Tak punya makna. Maka kau buat sendiri bianglala kata. Berputar mengelilingi atmamu bersama durjana. Canda, dura, tak lelah terus mengiringi setiap langkah. Sudah sejauh mana hati, Ar?
Di ujung diorama ingatan, kau megahkan sebuah kenang. Rumah dari rasa-rasa yang selalu embara sekian titimangsa. Titian dari setiap asa, kau kenali sebagai jalan pulang. Di tempat madah dari sajak-sajak yang kau ciptakan. Lembar lusuh bernoktah biram, kau biarkan apa adanya. Sebagai pengingat. Bahwa kau pernah gigih dalam dunia nan ringkih. Gigil berjuang, mengayuh sampan di samudera mimpi. Tapi mereka bilang itu ilusi. Hingga kau tambatkan seluruh isi hati.
Perjalananmu, Aruna, telah sampai di titik nadir. Tak ada lagi percik kembang api dalam dada. Sirna kerlip manikam yang pernah bersemayam begitu nyata.
Maka katakan, Ar, pada waktu. Pada sandikala pukul lima.
"Di belahan dunia yang mana lagi harus kau sembunyikan luka?"Â
- Jakarta, 15 Februari 2020 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H