Langit November sedikit kelabu. Gurau hujan membuat kesumba tak mampir pukul lima. Tak apa. Masih ada sedikit rona setengah rupa yang kupunya. Sisa kemarin kau nikmati dengan tergesa tanpa tanya. Apakah aku masih bersedia?
Kunikmati menjadi spasi di daksa puisi tentangmu. Kunikmati menjadi sebuah koma dalam jemala. Kulahap semua sungkawa, hingga durjana menyerah lelah menggoda atma. Sampai kapan? Adalah tanya tanpa jawab. Kau tahu pasti bahwa aku betah mengunjungi netramu tanpa sanggah. Suatu candu. Layaknya bentala merindu cumbu penghujan. Meski seketika hilang, memadu lautan.
Renjana, abadilah kau dalam puisi. Sebagai paling yang tak mungkin. Sebagai fantom muskil yang kuingin. Abadilah dalam aksara, Renjana. Kelak nanti kau temui aku dalam tiap bulir hujan kala mencium bentala. Pun dersik angin utara. Lirih menyambat kenang-kenang setiap wulan. Laung meneriakkan semara, meski sekarang kau lupa.
Bertalu-talu pintu cakrawala kuketuk. Berdebam harapan terantuk.
Tersara-bara aku di pelataran maya. Menyelesaikan angkara.
Selamat tinggal, Renjana..
- Jakarta, 15 November 2019 -