Suatu waktu pernah kita tersesat di jenggala. Pun mencari harap di belantara samsara. Tengadah langitkan mantra-mantra yang ditolak angkasa. Hingga angkara tumpah, serapah meruah. Tidak! Kita tidak berhenti! Melaju terus kalahkan kala meski nubuat tak restui. Hingga pulang.. Pulang menjadi pilihan. Meski kau bilang, pulang tak selalu berarti kembali, dan tinggal.
***
Sekian warsa, kau tikam belati aksara tepat di jantung waktu. Janji punah, aku tunggal merapal madah. Sedang kau sibuk merapah syahdu pada selain aku. Membuka nirwana di pintu buana. Merapah serimbun wewangian, menyeruak di antara rama-rama penggoda. Mereka penjemput semara, yang selalu haus renjana.Â
"Tuan, Setidaknya berilah sedikit kecupan di keningku. Sebelum aksara mengasap nirmakna, tak meninggalkan jejak kecuali kenangan samar.
Setipis kabut saat arunika. Hilang secepat cahaya...Â
Kembali fana. "
***
Hari ini, Tuan, kubuka jendela kamar. Siul burung bersahutan, elegi pagi menyiram atma hingga mengakar. Arunika sekelebat menyapa, lalu hilang bersama riuh lalu-lalang kendaraan ibukota. Masih pagi yang sama. Masih aku yang biasa. Rutinitas tanpa jeda. Sampai mair menjemputku di kemudian hari. Sampai tidak ada aliran dalam nadi. Mair, Tuan, adalah satu-satunya cara agar bisa kembali hidup beribu tahun lagi, di buana yang lebih baik dari ini. Nanti di sana, Tuan, dalam ruang tanpa bentuk, kutunggu kau mengetuk...
- Jakarta, 24 September 2019-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H