Kau lahir dari rahim puisi resah. Paduan sempurna doa saat gundah, bungah, pun gelisah. Diracik dengan setitik cita dan sedikit duka, genaplah kamu di tiap untaian yang tercipta.Â
Mungkin Tuhan sedang ingin menghiburku yang sempat luka..... Setelah habis dingin mengerakahi setiap sabda, masih kamu yang mampu memperlatakan aksara di peraduan langit senja.Â
***
Jika tiba waktu sang petang menenggelamkan diri di haribaan, aku setubuh bayang mentari yang turut menghilang. Kenapa? Adalah tanya yang tak mampu kujawab dengan segera. Kamu tak terjelaskan dengan serumpun kata.
Mungkin benar, kadang cinta tak butuh alasan. Ia lebih ingin balasan. Maka ku hampar sajadah di serambi malam. Muntahkan segala yang berdiam di lambung kecemasan.Â
Gumam luka menyeruak ke permukaan. Suaranya seretak ranting ranting dedahan yang terinjak kenangan. Lalu dilibas sekumpulan harapan.....
***
Aku patah.
Kita berlari bersimpangan arah.
Hari yang asing datang kembali. Bersama hujan, ia mengalirkan kenang. Kenalkan diri sebagai ego yang (sedang) patah hati..... Sejurus kemudian, namamu gugur bersama daun daun senja ... Sekali lagi.
- Jakarta, 30 November 2018 -