Puan.....
Entah pada rinai yang mana lagi kau sembunyikan sepi. Desember hampir usai, sementara seluruh doamu karam di luas samudera mimpi. Kau hanyalah setetes embun di elegi pagi hari. Menguap sesaat setelah kecup pertama pada ujung dedaunan. Pasrah dan tabah menghilang saat mentari ucapkan salam. Rindu tak pernah sepahit ini, kan?.....Â
Tenang, untukmu sudah kusimpan baik baik sepotong senja. Yang kuambil dari langit tenggara. Barangkali kelak kau butuh mengingatku yang sering pergi tanpa permisi. Karena senja lebih tau diri, akan temanimu habiskan hari. Saat aku kembali tunaikan bakti pada ibu pertiwi. Nanti.
---
Bising peluru bersahutan di udara. Dengan bismillah ku kokang senapan ganda. Lari terbirit birit musuh berikan tanda. Kemenangan sudah di depan mata. Kau tahu, Puan? Bahkan dadaku berdegup keras. Suaranya kalahkan teriakan lawan pun desing senjata. Perayaan kesedihan meledak layaknya kembang api di udara. Mesiu cinta berterbangan, serupa tebar debu cakrawala. Sudah selama itu ia pendam gempita di dalam dada! Sebentar lagi pulang menjadi kata penghapus lara. Bagi kesepian yang sudah terbiasa tinggal di antara kita..... Lalu kau dan aku berlomba mencari tempat yang tak akan disinggahi waktu. Berdua kita rayakan cinta yang sublim tanpa kenal musim.
.
.
.
Puan.....
Mencintaiku tak mudah. Kau sering tercabik apalagi patah. Sedang aku sudah lama sampai pada suatu masa. Dimana hanya engkau yang mampu mengalihbahasakan seluruh aku pada kata paling cinta.....
- Jakarta, 11 Oktober 2018 -