Salah satu kelemahan kita yang akhirnya menjadi budaya adalah kebiasaan menerima "matengnya" saja, tinggal sami'na waato'na dengan hasil yang sudah mateng tinggal pakai semacam PCR atau swab antigen. Ketika ada anak bangsa yang berhasil mengembangkan Ge Nose, kita menganggapnya sebagai produk kelas dua.Â
Ketika muncul celah lemahnya, beramai-ramailah orang mem-bully celah lemahnya sebagai produk dengan hasil palsu, bahkan yang lebih kejam lagi menuduhnya sebagai biang keladi melonjaknya kasus covid belakangan ini. Kita seolah-olah sangat mudah mentoleir ketika ketidaksesuaian hasil itu terjadi pada produk-produk yang bukan berasal dari produk anak-anak bangsa sendiri.Â
Faktanya ketika banyak tenaga kesehatan positif covid padahal sudah mendapat vaksinasi sinovac, berita semacam itu juga tidak bertahan lama apalagi sampai menjadi pembahasan yang viral. Â Inilah sebenarnya budaya-budaya yang harus mulai kita reduksi.
Penutup, marilah bersama saling mendukung terhadap upaya-upaya pengembangan produk dan riset  bangsa sendiri. Jangan terlalu mudah untuk turut dalam men-stigma sesuatu yang kita belum ketahui proses dan hasilnya. Jangan sampai nanti kita hanya mem-bebek dan manggut-manggut hanya setelah ilmuwan negara-negara lain menyodorkan bukti klinis suatu temuan yang sebenarnya sudah pernah ada di depan mata kita sendiri.Â
Saya masih berharap, mudah-mudahan ketika suatu waktu diketemukan dosis yang pas, formula yang pas, hasil uji klinis yang sesuai, itu adalah kita yang mengisiasi. Bukan hanya karena kita manggut-manggut terhadap riset-riset dari negara lain, padahal itu punya kita, kekayaan alam kita. Sehingga pada akhirnya kita menjadi negara imam, dan bukan negara makmum, negara yang terus menerus menjadi negara konsumtif bagi negara lain selamanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H