Hari ini merupakan peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN). Peringatan yang waktunya hampir berhimpitan dengan Hari Pahlawan 10 November ini memang harus diakui tidak terlalu populer di kalangan masyarakat.
Bahkan boleh jadi HKN ini lebih tertutupi oleh gegap gempitanya program 11/11 yang ditawarkan oleh hampir semua marketplace di seluruh Indonesia dan bahkan di dunia. Atau juga "kalah saing" dengan Hari Ayah Nasional yang diperingati di hari yang sama.
Peringatan Hari Kesehatan Nasional ini sejatinya merupakan refleksi kembali semangat bangsa dalam meningkatkan harkat hidup masyarakat yang diambil dari upaya pemberantasan penyakit malaria pada tahun 1959. Kala itu penyakit malaria menjangkiti hampir seluruh negeri, yang mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa.
Upaya pembasmian malaria dilakukan secara massal dari rumah ke rumah. Presiden Sukarno pada waktu itu melakukan penyemprotan pertama kali secara simbolis pada tanggal 12 November 1959 di daerah Kalasan, Yogyakarta. Pada tanggal inilah akhirnya ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Nasional untuk diperingati setiap tahunnya.
Sehat itu sendiri menurut WHO adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan.
Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa untuk mencapai suatu kondisi sehat harus didukung pula oleh sebuah sistem penyelenggaraan kesehatan yang baik, yang dijalankan oleh tenaga profesional yang baik dan masyarakat berperilaku hidup baik. Yakni menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat sebagai sebuah budaya hidup.
Penyelenggaraan kesehatan yang baik sudah dilakukan oleh pemerintah sejak sejak dulu. Saya tidak menyebutkan tahunnya karena tidak mau meniadakan peran di setiap era penguasa. Tentunya setiap rezim akan mengklaim telah melakukan sebuah upaya dalam menyelenggarakan program-program yang mendukung upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Di era sekarang, layaknya model-model pembangunan lain di bidang non-kesehatan seperti pembangunan jalan tol di mana-mana, penguatan infrastruktur desa yang merata, dan lain-lainnya, pembangunan di bidang kesehatan pun nampak secara kasat mata seperti itu.
Dukungan infrastruktur sangat terlihat belakangan ini. Puskesmas-puskesmas terlihat megah, tidak nampak reyot, dan kusam seperti jaman dulu. Terlebih dengan penerapan "wajib" terakreditasi terkait kerjasama puskesmas, klinik, dan rumah sakit dengan BPJS. Mau tidak mau memaksa sarana pelayanan kesehatan untuk memenuhi seluruh standar yang dipersyaratkan yang ujung-ujungnya ya akan nampak di pembangunan fisik.
Namun semua itu menyisakan pertanyaan, apakah situasi itu menciptakan suasana layanan kesehatan menjadi lebih baik? Menurut hemat penulis tidak.
Sistem pelayanan kesehatan tidak pernah lepas dari sistem pembiayaan. Dan dari masa ke masa sejak awal lahirnya sistem jaminan kesehatan nasional (BPJS) belum menunjukkan tanda-tanda perubahan sistem ke arah yang lebih baik.
Mulai dari permasalahan tunggakan pembayaran ke sarana pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik, dan RS), di mana sistem rujukan berubah-ubah, batasan-batasan pelayanan, dan tahun ini pemerintah memberikan "kado" berupa kenaikan premi bulanan peserta BPJS.
Permasalahan penyelenggaraan sistem kesehatan hingga kini belum mencapai kesepahaman atau pemahaman yang seiya sekata antara pemerintah dengan masyarakat. Tenaga kesehatan sebagai ujung tombak pelaksanaan kesehatan belum mendapatkan upah yang sesuai dengan tuntutan kerja dan tanggung jawab profesinya.
Tentu kita masih ingat polemik mengenai gaji dokter yang hanya 2 jutaan beberapa waktu lalu, atau rencana boikot organisasi profesi dokter gigi yang mengancam akan keluar dari kerja sama dengan BPJS. Kesenjangan gaji antara PNS Pusat (Kementerian Kesehatan) dengan PNS Daerah (Pemda Tingkat II) sangat nyata di era sekarang ini.Â
Belum lagi untuk tenaga kesehatan yang bekerja di daerah terpencil di mana pendapatan yang diterimanya secara sistem sudah dibuat sedemikian rupa sejalan dengan jumlah pasien yang dilayani, dengan kinerja dan medan yang secara geografis jauh lebih sulit.
Belum lengkap pameo yang menyatakan sehat itu mahal, mungkin lebih tepatnya begini: kesehatan itu memang mahal, yang murah itu tenaga kesehatannya.
Bahkan untuk daerah-daerah perifer di Propinsi Yogyakarta, di beberapa klinik atau praktek dokter, tarif pelayanan kesehatan bahkan lebih murah daripada ongkos yang kita keluarkan di warung makan.
Belum lagi tenaga kesehatan yang masih harus dituntut dengan update knowledge, memenuhi standar minimal pendidikan, dan seabreg persyaratan administratif yang semuanya tidak dapat menaikkan marwah mereka dari sisi penghargaan dalam hal pendapatan dan kejelasan jenjang karier.
Satu hal lagi, negara ini gemar sekali membuat peraturan yang menuntut kompetensi profesi kesehatan namun implikasinya nol besar. Sebut saja misalnya Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
PP itu sudah didukung dengan banyak sekali implementasi teknis berupa Peraturan Menteri Kesehatan di bawahnya, Contoh: Permenkes 889/2011.
Misalnya tentang definisi tenaga teknis kefarmasian yang dinyatakan di dalam PP adalah tenaga kesehatan dengan jenjang sekolah menengah, diploma, atau sarjana kefarmasian.
Sampai 10 tahun berjalan, peraturan yang dipakai untuk mengatur jenjang pendidikan tenaga teknis kefarmasian di kepegawaian (Permenpan) masih menggunakan definisi yang ada pada Permenpan No 8 tahun 2008 yang meniadakan unsur S1 Farmasi dalam rumpun tenaga kefarmasian.
Ini otomatis mengeliminasi tenaga kefarmasian yang mempunyai kompetensi sarjana farmasi atau yang lebih tinggi. Dan kebijakan-kebijakan yang tidak menempatkan moral sebagai pertimbangan semacam ini sangat banyak di lingkup kesehatan yang mungkin tidak akan anda temukan di lingkup lain misalnya lingkup pendidikan (guru), hukum dan HAM, atau lingkup lain yang sangat mengokomodasi kompetensi tenaga profesional.
Unsur terakhir dalam keberhasilan pembangunan kesehatan yakni masyarakat. Partisipasi masyarakat ini bukan hanya terbatas pada masyarakat sebagai obyek dan penerima layanan melainkan stakeholder yang terlibat dalam upaya peningkatan derajat kesehatan.
Dengan penerapan sistem kesehatan seperti apapun baiknya, tidak akan mampu memperbaiki derajat kesehatan masyarakat jika tidak ada partisipasi masyarakat dalam berlaku hidup sehat.
Partisipasi masyarakat ini kemudian dikuatkan dengan Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat), Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), STBM, TOSS TB, Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga dan program-program lain yang telah dijalankan oleh kementerian Kesehatan.
Program-program tersebut sudah sangat sering disosialisasi ke masyarakat, baik secara langsung terjun ke masyarakat, melalui pamflet-pamflet, dan hilir mudik di media sosial: youtube, facebook, dan instagram.
Pertanyaan besarnya, apakah substansinya jika peringatan HKN hanya menyeremonikan kegiatan yang sudah rutin dilakukan? Prestasi kesehatan itu sudah selayaknya tidak dibedakan dengan prestasi olahraga misalnya sepak bola. Masyarakat pasti mengukur keberhasilan pembinaan sepak bola dengan prestasi di ASEAN, di Asia, maupun di FIFA.
Bukankah akan lebih membanggakan jika di tiap HKN kita lebih menonjolkan prestasi kita misalnya kita mampu melepaskan diri dari belenggu TB, (faktanya kita menduduki peringkat 3 dunia setelah India dan China), menonjolkan keberhasilan dalam penanganan stunting (faktanya kita menempati peringkat 4 dunia dalam kasus stunting).
Masyarakat lebih membutuhkan jaminan pelayanan kesehatan yang lebih baik, premi iuran bulanan yang lebih terjangkau. Tenaga kesehatan sudah lama menantikan pemangkasan kesenjangan pendapatan dan apresiasi jungkir balik mereka dalam mengintervensi kesehatan masyarakat di tingkat bawah.
Mereka sangat menantikan tunjangan fungsional mereka setara dengan pendapatan driver online dan pengakuan atas profesi mereka di sarana pelayanan kesehatan.
Bukan sekadar berdiri di lapangan upacara, apoteker menjadi paduan suara, dokter memimpin upacara, lalu tenaga penyuluh membagi-bagi brosur di pinggir jalan. Hari Kesehatan Nasional sudah saatnya dijadikan momentum untuk berubah.
Bukan hanya seremonial untuk mengajak masyarakat berubah, melainkan momentum untuk memberikan kesan, sekaligus menjawab pertanyaan untuk siapa sebenarnya tanggal 12 November ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H