Sistem pelayanan kesehatan tidak pernah lepas dari sistem pembiayaan. Dan dari masa ke masa sejak awal lahirnya sistem jaminan kesehatan nasional (BPJS) belum menunjukkan tanda-tanda perubahan sistem ke arah yang lebih baik.
Mulai dari permasalahan tunggakan pembayaran ke sarana pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik, dan RS), di mana sistem rujukan berubah-ubah, batasan-batasan pelayanan, dan tahun ini pemerintah memberikan "kado" berupa kenaikan premi bulanan peserta BPJS.
Permasalahan penyelenggaraan sistem kesehatan hingga kini belum mencapai kesepahaman atau pemahaman yang seiya sekata antara pemerintah dengan masyarakat. Tenaga kesehatan sebagai ujung tombak pelaksanaan kesehatan belum mendapatkan upah yang sesuai dengan tuntutan kerja dan tanggung jawab profesinya.
Tentu kita masih ingat polemik mengenai gaji dokter yang hanya 2 jutaan beberapa waktu lalu, atau rencana boikot organisasi profesi dokter gigi yang mengancam akan keluar dari kerja sama dengan BPJS. Kesenjangan gaji antara PNS Pusat (Kementerian Kesehatan) dengan PNS Daerah (Pemda Tingkat II) sangat nyata di era sekarang ini.Â
Belum lagi untuk tenaga kesehatan yang bekerja di daerah terpencil di mana pendapatan yang diterimanya secara sistem sudah dibuat sedemikian rupa sejalan dengan jumlah pasien yang dilayani, dengan kinerja dan medan yang secara geografis jauh lebih sulit.
Belum lengkap pameo yang menyatakan sehat itu mahal, mungkin lebih tepatnya begini: kesehatan itu memang mahal, yang murah itu tenaga kesehatannya.
Bahkan untuk daerah-daerah perifer di Propinsi Yogyakarta, di beberapa klinik atau praktek dokter, tarif pelayanan kesehatan bahkan lebih murah daripada ongkos yang kita keluarkan di warung makan.
Belum lagi tenaga kesehatan yang masih harus dituntut dengan update knowledge, memenuhi standar minimal pendidikan, dan seabreg persyaratan administratif yang semuanya tidak dapat menaikkan marwah mereka dari sisi penghargaan dalam hal pendapatan dan kejelasan jenjang karier.
Satu hal lagi, negara ini gemar sekali membuat peraturan yang menuntut kompetensi profesi kesehatan namun implikasinya nol besar. Sebut saja misalnya Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
PP itu sudah didukung dengan banyak sekali implementasi teknis berupa Peraturan Menteri Kesehatan di bawahnya, Contoh: Permenkes 889/2011.
Misalnya tentang definisi tenaga teknis kefarmasian yang dinyatakan di dalam PP adalah tenaga kesehatan dengan jenjang sekolah menengah, diploma, atau sarjana kefarmasian.