Mohon tunggu...
Apolonius Lase
Apolonius Lase Mohon Tunggu... -

Im a simple one...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sidang Raya PGI, Mana Gaungmu?

11 November 2014   17:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:05 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Apolonius Lase

Oleh Apolonius Lase data-show-count="true">Follow My Twitter [caption id="attachment_32159" align="alignleft" width="322" caption="Logo PGI"][/caption] NBC — Dipilihnya Pulau Nias menjadi tuan rumah pelaksanaan Sidang Raya Ke-16 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) adalah sebuah hal yang langka dan sangat monumental. Kesempatan ini seharusnya disambut dengan antusiasme serta melibatkan masyarakat seluruh Nias. Hari bersejarah ini perlu dukungan masyarakat sehingga terbangun rasa memiliki sehingga semangatnya ikut menyukseskan acara itu terbentuk secara alami dan tulus. Akan tetapi, penilaian saya—semoga saja saya keliru— yang terjadi, masyarakat terlihat adem-ayem saja menyambut hari bersejarah yang sudah di depan mata ini. Sebagian besar belum merasa sebagai bagian dari acara besar itu, apalagi merasa memiliki. Mengapa demikian? Agaknya pemerintah daerah dan panitia perlu sedikit bekerja keras untuk menyosialisasikan perhelatan besar itu secara masif. Pekerjaan panitia bukanlah sekadar sukses untuk mengumpulkan dana sesuai yang dibutuhkan, melainkan juga bagaimana acara ini sukses dan bisa melibatkan masyarakat Nias secara keseluruhan. Saya ingat cerita bagaimana Korea Selatan diberi kepercayaan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 1988 untuk pertama kali. Semua warga Korea Selatan bersatu. Mereka bertekad, acara Olimpiade harus sukses. Caranya? Mereka dilibatkan. Seperti dikutip harian Kompas, edisi 21 September 2014. perhelatan besar sekelas Olimpiade benar-benar menjadi awal bagi Korea Selatan untuk membuktikan kepada dunia bahwa dia bisa melaksanakan acara besar. Kita tahu setelah itu, Korea Selatan juga sukses sebagai tuan rumah Piala Dunia. Pemerintah Korea Selatan disebutkan berhasil membuat rakyatnya bahu-membahu menyukseskan acara besar itu. Heeh Yung-yoo (66), mantan atlet basket tim nasional Korsel di Olimpiade 1968, mengatakan, ia sangat bangga saat Olimpiade 1988 digelar, ia bertugas sebagai ofisial tim basket nasional kala itu. ”Saya terharu, semua lapisan masyarakat bersatu padu menjaga keamanan dan kenyamanan." Yang unik, disebutkan bahkan para penjahat pun saat itu berjanji tidak mengganggu para peserta. Betapa panitia atau pemerintah setempat mampu mengambil hati warganya dan menjadikan perhelatan Olimpiade yang mendatangkan jutaan orang itu menjadi acara bersama yang kesuksesannya adalah tanggung jawab bersama. Ada pelibatan masyarakat, baik secara fisik maupun secara emosi. Waktu Olimpiade itu, warga Korea Selatan dengan santun mengantar siapa saja orang asing yang kehilangan arah di sekitar lokasi tempat laga Olimpiade. Mereka melakukan itu secara tulus tanpa pamrih. Bahkan, anak-anak sekolah, anggota pramuka, membantu semua orang yang datang ke Korea Selatan untuk menemukan pintu masuk ke stadion. Mereka juga ikut berpatisipasi mengatur kelancaran lalu lintas kala itu. Disebutkan Yung-yoo, saat itu Olimpiade benar-benar menjadi etalase dan tempat pajang (ruang pamer), bagi semua produk dalam negeri Korea Selatan kepada masyarakat dunia. Saat itu, Korea Selatan mengisi perkampungan atlet dengan barang-barang buatan mereka sendiri, seperti mesin cuci, radio, televisi, hingga alat telekomunikasi. Bahkan, untuk menjemput dan mengantar para atlet, Korea Selatan menggunakan produksi mereka sendiri. Pemimpin Korea Selatan sungguh melek tentang pentingnya acara itu.

Pemerintah Korea Selatan mengingatkan masyarakat jauh-jauh hari bahwa Korsel akan jadi tuan rumah Olimpiade. Waktu itu, hampir selalu ada pertanyaan, ’kapan Olimpiade Seoul dibuka?’ Saking seringnya mendapat pertanyaan itu sampai sekarang warga ingat jawabannya: 17 September 1988.

*** Cerita lain terkait betapa pentingnya sosialisasi ini. Mungkin Anda juga tidak lupa ketika ada peristiwa alam gerhana matahari total yang menghebohkan dunia, termasuk di Indonesia. Waktu itu, 11 Juni 1983, saya masih berusia sekitar 10 tahun. Gerhana matahari membuat seluruh masyarakat membangun perlindungan diri sendiri. Saya ingat betul, berbulan-bulan sebelumnya, pemerintah lewat media massa, ketika itu untuk TV satu-satunya TVRI, menggencarkan penyampaian informasi untuk sosialisasi terkait bahaya yang ditimbulkan oleh gerhana total matahari itu. Pemerintah daerah di Nias saat itu juga terus melakukan sosialisasi lewat kepala desa, sekolah-sekolah, gereja-gereja, masjid-masjid. Ketika itu, tak satu pun masyarakat di seluruh Indonesia yang tidak tahu informasi terkait gerhana matahari ini. Saya ingat betul ketika itu bahwa ada imbauan agar jangan pernah sekali-sekali melihat langsung ke arah matahari karena bisa menimbulkan kebutaan total. Alhasil, kami sekeluarga menutup rumah kami, tak sedikit pun cahaya bisa masuk. Jadilah, seharian masyarakat tidak bekerja. Bahkan, sangking paranoidnya, adik papa saya membangun rumah dalam rumahnya, yakni dengan membuat atap baru sehingga benar-benar tidak ada cahaya masuk. *** Berkaca dari dua peristiwa di atas, seharusnya kita bisa belajar. Betapa perlunya sosialisasi kepada masyarakat agar bisa berpatisipasi dalam sebuah perhelatan. Bagaimana bisa masyarakat bisa ikut serta jika panitia pelaksana Sidang Raya PGI itu tidak melakukan sosialisasi yang gencar kepada semua masyarakat di Nias.

Sebaiknya, panitia mengambil sikap terbuka selebar-lebarnya untuk memberikan informasi soal Sidang Raya PGI ini kepada masyarakat, kepada semua sekolah di berbagai tingkatan, kepada semua gereja dari berbagai denominasi, bahkan kepada agama lain sekali pun yang ada di Nias. Sebab, ini adalah sebuah "ujian" dan kesempatan baik untuk membuktikan bahwa Nias mampu.

Waktu yang tersisa sekitar satu bulan ini, sebaiknya dimanfaatkan betul. Gunakanlah semua media yang ada. Lakukan sosialisasi kepada masyarakat, serta berikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan kritik sehingga mereka merasa, "Ya, saya siap melakukan apa pun untuk menyukseskan acara ini!" *** Akan tetapi, jika panitia besar SR PGI tidak terbuka dan sepi informasi kepada khalayak, harapan ini hanyalah tinggal harapan maya saja. Padahal, harapan kita semua, perhelatan sebesar SR PGI seharusnya bisa "menjual" semua potensi Nias. Lewat SR PGI ini kita bisa menunjukkan kepada para tamu kita dan kepada dunia luar, "Inilah Nias, kami punya kekayaan budaya, kami punya falulu (nilai kerja sama tanpa pamrih), kami punya kebersamaan, kami punya pluralisme". Akankah bisa seperti ini? Kita tunggu saja. [APOLONIUS LASE, Pemerhati Sosial Nias, Tinggal di Jakarta] Artikel ini dimuat:www.nias-bangkit.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun