Mohon tunggu...
Apni Jaya Putra
Apni Jaya Putra Mohon Tunggu... -

Konsultan Media, tinggal di Kuala Lumpur

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Cara Malaysia "Melawan" Nielsen

18 Maret 2014   21:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:47 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Kegundahan soal Nielsen di Malaysia awalnya datang dari RTM, televisi milik pemerintah Malaysia. RTM 1 dan RTM 2, sama seperti  TVRI menjangkau hampir semua wilayah Malaysia, dari wilayah Semenanjung sampai Borneo Utara, tapi tetap saja RTM menurut Nielsen Malaysia siarannya tidak begitu banyak ditonton atau kalah populer dengan TV3 yang  milik swasta yang kebanyakan ditonton oleh kalangan urban. Untuk yang belum tahu, Nielsen adalah lembaga survei dan pemeringkat no wahid di dunia. Nielsen mengeluarkan angka rating dan share yang menentukan hidup dan mati nya program televisi. Kenapa bisa begitu, karena pengiklan yang juga menggunakan data Nielsen, menjadikan angka angka rating dan share itu untuk menjadi patokan iklan apa dan di program televisi mana iklan itu akan ditempatkan. Balik ke Malaysia, Kementerian Informasi dan Multimedia Malaysia atau Kementerian Penerangan Malaysia, mempertanyakan keabsahan cara pengukuran Nielsen, terutama soal respondent. Pertanyaan sederhana mereka, mengapa RTM1 atau TV1 yang berbasis news dan RTM2 atau TV2 yang berbasis hiburan tetap tak “diminati” penonton Malaysia. Bukan soal pada akhirnya RTM1 dan RTM2 tidak beroleh iklan karena ini. Karena uang memang bukan soal buat RTM, karena RTM dihidupi oleh Kementerian Penerangan Malaysia. Tapi soal vonis “tidak diminati” itu terasa menyakitkan buat para punggawa Angkasa Puri, markas besar RTM di Kuala Lumpur. Di Indonesia, menteri Kominfo Tifatul Sembiring juga pernah protes soal kedigdayaan Nielsen menjadi satu satunya lembaga pemeringkat program tv di Indonesia. Bahkan kementerian ini pernah berencana akan mengaudit validitas Nielsen. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dari jaman ke jaman selalu mempertanyakan keabsahan Nielsen. Yayasan SET bahkan pernah berupaya membuat riset tandingan, tapi tak berlangsung lama. Akhirnya upaya pemerintah Indonesia, KPI dan banyak pihak di Indonesia itu terasa sia sia karena kekurangan amunisi dan tak ada uang negara yang bisa menyokong ini. Televisi yang juga gerah dengan Nielsen malah juga tak kompak mendukung adanya second opinion buat mereka sendiri. Mereka terkesan pasrah karena apa boleh buat, pengiklan yang menjadi penentu tarikan nafas industri televisi hanya “percaya” Nielsen. Tapi kita di Indonesia hanya bisa mengutuk kegelapan. Sementara pemerintah Malaysia berusaha menyalakan lilin. Lalu hadirlah lembaga pemeringkat baru di Malaysia yakni Media Analytic Malaysia (MAM) yang didanai dan disokong penuh oleh Kementerian Penerangan Malaysia. Klien MAM pertama adalah RTM. Dengan cara pengukuran yang menggunakan aplikasi di hand phone respondent, MAM dapat melihat semua yang bisa dilakukan Nielsen secara realtime. “Tak ada yang beda dengan apa yang dilakukan Nielsen,” kata Paul Soosay, CEO Media Analytic Malaysia di Kuala Lumpur Malaysia. “Yang berbeda adalah jumlah responden kami lebih besar dengan force distribution yang lebih merata di wilayah urban dan rural, kelas ekonomi yang mendekati kondisi real pemirsa kami,” kata Paul melanjutkan. Jadi dengan perangkat pengukur yang menggunakan 3G dan GPRS ini tidak ada kendala bagi MAM untuk mendapatkan data secara realtime dari seluruh wilayah Malaysia. Apa yang terjadi kemudian adalah revolusioner. Di Malaysia saat ini setidaknya tidak ada monopoli dan hegemoni Nielsen. Mereka punya second opinion yakni MAM. “Tadinya pasar agak ragu, tapi setelah kami beroperasi data kami sekarang juga sudah digunakan oleh pengiklan,” jelas Paul. “Dan tentu saja RTM happy karena ternyata angka rating dan share mereka kini tak jauh berbeda dengan popularitas TV3. Tentu ini menggairahkan bagi para pekerja televisi di sini,” (AJP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun