[caption id="attachment_318695" align="alignleft" width="640" caption="CEO KompasGramedia Agung Adiprasetyo pada Kick Off K Vision"][/caption]
“Kami datang bukan sebagai pesaing. Kami datang untuk saling melengkapi. Musuh kami bukan lah para operator televisi berbayar yang selama ini ada. Musuh kami adalah kebodohan dan keterbelakangan informasi,”
Itu kutipan pidato CEO KompasGramedia pada peluncuran K-Vision, televisi berbayar dari KompasGramedia grup. K-Vision diluncurkan tanggal 4 bulan 4 tahun 2004 di pukul 4 sore. Tapi bukan tanggal ini yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Tapi lebih pada soal rendahnya penetrasi TV Berbayar di Indonesia.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara Indonesia termasuk yang paling rendah. Saat ini dari 14 operator tv berbayar via satelit dan kabel, total jumlah pelanggan hanya 3,1 juta saja. Penetrasinya hanya 9%. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah 50%. Thailand sudah 15 persen dan Filipina sudah 12 persen. Jika dibandingkan dengan negara maju, angka penetrasi tv berbayar di kawasan ini malah lebih rendah. Korea Selatan misalnya penetrasi pay tv sudah 100%, artinya seluruh penduruk Korsel sudah berlangganan PayTV.
Tapi rendahnya penetrasi pay tv di Indonesia membuat peluang operator tv berbayar untuk mencari pelanggan akan terbuka lebar. Meski Kementrian Kominfo memprediksi pertumbuhan pelanggan akan berada di kisaran 3%, tapi kalangan industri televisi berbayar bahkan optimis pelanggan paytv bisa tumbuh 7% per tahun.
Soal rendahnya penetrasi tv berbayar memang sangat terkait pada pertumbuhan ekonomi suatu negara. Malaysia misalnya awalnya sama dengan Indonesia, televisi masuk melalui free tv melalui jaringan teresterial. Televisi teresterial tentu memiliki kelemahan pada keterbatasan jumlah frekuensi dan demi iklan biasa bermain di program dan acara televisi yang sama.
Masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik dalam konteks teori media diet, tentu akan mencari diet media yang cocok untuk dirinya. Mayarakat Amerika kelas menengah atas misalnya tontonan mereka adalah kanal kanal leisure, sport, lifestyle dan film blogbuster. Masyarakat dunia ketiga masih menyukasi tayangan yang berbau mistik, on street crime dan gosip.
Perubahan selera kerana meningkatnya power buying ini mengubah peta industri televisi Malaysia yang kini didominasi oleh televisi berbayar. Astro Malaysia, operator televisi berbayar Malaysia mengklaim memiliki 10 juta pelanggan. Melayani kanal dengan bahasa Melayu, Indonesia, China, Inggris dan Tamil.
Kembali ke Indonesia, pemain besar TV Berbayar Indonesia masih Indovision. Tapi selera penonton Indonesia sangat ditentukan apakah operator memiliki killer content sepak bola atau liga dunia, utamanya Liga Inggris.
Mulai tahun lalu misalnya Liga Inggris sudah tidak berada di kelompok MNC yang tiga tahun terakhir mendistribusikan tayangan ini melalui freetv mereka MNC-tv, Global TV dan Indovision. MP Silva sebagai pemegang lisensi liga Inggris sudah tidak memberikan hak siar kepada kelompok MNC lagi. Kini Liga Inggris bisa dinikmati oleh banyak pemirsa melalui banyak operator tv berbayar yakni, OrangeTV, Nexmedia, Firstmedia, BigTV dan kini K-Vision.
Upaya MP Silva tidak memberi monopoli ke satu kelompok media dalam penayangan Liga Inggris tentu untuk mendorong penetrasi televisi berbayar di Indonesia. Semakin banyak operator semakin baik. Semakin murah dan semakin beragam pula paket paket yang ditawarkan kepada nasabah. Itulah persaingan sempurna, maka yang diuntungkan adalah pelanggan.