Pancasila tahun ini genap berusia 70 tahun. Jika dianalogikan sebagai manusia, maka umur yang sedemikian rupa dapat disebut tua, rentan dan semestinya sudah pensiun dari pekerjaannya. Harusnya dia tinggal menikmati hari tuanya saja tanpa beban hidup yang melilit.
Namun, tidak demikian dengan Pancasila sebagai dasar negara, diusianya yang sudah senja tersebut, menunjukkan sebuah kekokohan dan ketangguhanya dalam mengarungi panjangnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Jangan ada rasa untuk mengerdilkanya sebagai dasar negara yang sudah usang, tua dan layak untuk dipensiunkan. Ada banyak gugatan, goncangan dan penistaan terhadapnya, namun masih saja negeri ini tetap mempertahankannya.
Di atas dasar Pancasilan ini pula dapat dikibarkan bendera kemajemukan, mampu direkatkan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika yang melingkupi Negara Kesatuan Republik Indonesia serta tertanam kokoh dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sudah semestinya negeri ini tetap menggelorakan Pancasila, bukan sebagai agama, tetapi sebagai ideologi bangsa, di mana dia menjadi benteng pertahanan dalam segala akar permasalahan nuansa SARA yang terjadi selama ini. Seluruh undang-undang dasar serta segala peraturan perundang-undanga harus tetap mengakar kuat di dalamnya. Jika Pancasila sebagai akar dan pondasi disingkirkan sesungguhnya robohlah seluruh tatanan yang tertanam di atasnya. Artinya Indonesia akan rubuh seketika jika Pancasila dicabut sebagai “akar” bangsa ini.
Menggelorakan semangat Pancasila itu harus bergema ke segala penjuru masa. Masa lalu, masa kini, dan masa depan yang sungguh tidak terlihat dan tak dapat di prediksi itu. Pancasila harus bergelora juga untuk konteks kekinian dengan menghadirkannya dalam bingkai pendidikan yang tersusun apik dan terintegrasi atas seluruh nadi ilmu pengetahuan. Pancasila jangan dibiarkan hanya tergantung di dinding kelas sebagai penghias dan tanda ke-Indonesiaan, melainkan harus hadir dalam seluruh aspek kehidupan nyata berbangsa dan bernegara.
Hadirnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 35 ayat 3 menyatakan bahwa Perguruan Tinggi wajib memuat matakuliah Pancasila dan Kewarganegaraan untuk program sarjana dan program diploma. Bukan untuk mengembalikan Pancasila dalam “format” orde baru, melainkan kerinduan untuk mengelorakan kemabali Pancasila dalam tatanan praktis.
Kehadiran Pancasila bukan dalam bentuk retorika semata, namun mampu berbicara melalu tindakan, penilaian dan pemikiran. Wujud nyata Pancasila dalam tindakan praktis akan terasa “manis” dan “indah”, tidak hambar jika dilakukan dengan ketulusan dan kejujuran.
Implementasi Pancasila menjadi hutang kita bersama yang harus dilunasi saat ini untuk diwariskan pada masa depan untuk anak cucu negeri ini. Jangan biarakan dia hanya tinggal sebagai dongeng penghias cerita-cerita masa lampau.
Momentum ini menjadi penggugah semangat baru dalam merayakan Pancasila untuk memperkokoh Indonesia Raya. Biarlah semakin kokohnya negeri ini akan mengikis rasa apatis dalam persatuan Indonesia. Mari gelorakan terus semangat Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H