Mohon tunggu...
ashiong munthe
ashiong munthe Mohon Tunggu... Pengajar -

Saya senang belajar dari siapa pun, dimana pun dan dengan apa pun....:) Hidup berjuang untuk mampu bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kepalsuan dalam Dunia Pendidikan

27 Juli 2015   12:24 Diperbarui: 27 Juli 2015   12:40 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hebohnya berita tentang ijazah palsu dan gelar palsu di negeri ini, mengundang banyak reaksi yang muncul ke permukaan. Diantaranya pemerintah pusat, pemerintah daerah bahkan dari partai politik memberikan beragam tanggapan. Menilik pada pemalsuan dalam dunia pendidikan tidak sebatas pada pembuatan ijazah dan gelar palsu saja, tetapi holistik pada proses yang ada. Bila kita dikaji kata palsu berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, maka banyak artinya, diantaranya tidak tulen; tidak sah; lancung; tiruan; gadungan; curang; tidak jujur; dan sumbang.

Ijazah palsu dalam pengertian tiruan saja akan mengarah pada legalitas lembar ijazah dan legalitas institusi. Setiap institusi pendidikan selayaknya memiliki legalitas yang sah. Jika ada institusi pendidikan yang tidak memiliki legalitas yang jelas, maka secara otomatis produk ijazahnya pasti palsu.

Lembaga pendidikan yang legal juga ternyata bisa mengeluarkan ijazah palsu, yaitu dengan cara merekayasa perkuliahan. Misalnya untuk jenjang S-1 perkulihan semestinya empat tahun namun direkayasa perkuliahannya kurang dari satu tahun. Institusinya memiliki legalitas yang sah, namun prosesnya tidak dijalankan semestinya, sehingga ijazahnya “aspal” alias “asli tapi palsu”.

Kata palsu dapat diartikan juga sebagai kecurangan dan ketidak jujuran. Hal ini bila dikaji, maka akan semakin kompleks polemik dalam dunia pendidikan tersebut. Misalnya seorang dosen atau guru sudah ditetapkan harus mengajar satu semester minimal 16 tatap muka, namun mengajar hanya 8 pertemuan. Ada pengajar yang malas mengoreksi sehingga langsung memberikan nilai dengan cara mengingat nama saja tanpa ada alat ukur penilaian yang jelas seperti soal, ujian, tugas dan sebagainya. Pengajar yang sangat sulit meluluskan peserta didiknya tanpa ada alasan yang jelas. Pengajar yang terlalu mudah memberikan nilai dan tidak peduli atau tidak mau “repot” dengan proses pembelajaran seutuhnya. Lembaga pendidikan merekayasan rasio pengajar dengan peserta didik, contohnya rasio idealnya 1:30-1:45, artinya satu dosen dengan jumlah mahasiswa 30 hingga 45 orang, direkayasa menjadi 1:150 atau 1:200.

Perbuatan curang yang sedemikain rupa banyak ditemukan di dunia pendidikan kita saat ini. Tindakan tidak sah dan tidak jujur pada proses pendidikan tersebut menjadi dilema. Di satu sisi seorang pengajar sejatinya harus menjalankan proses pembelajaran dengan seutuhnya, namun turut serta dalam pelaksana kecurangan. Lembaga yang semetinya menegakkan keluhuran pendidikan, justru terlibat dalam perselingkuhan akademik. Peserta didik yang semetiya menjalani proses pembelajaran yang utuh mencari jalan pintas untuk memperoleh gelar dan ijazah palsu.

Padahal pendidikan sejatinya sebuah proses dalam membentuk kognitif, afektif dan psikomotor. Pendidikan tidaklah instant. Harus ada integrasi yang utuh antara pikiran, perasaan dan tindakan dalam proses yang panjang. Ketiga ranah tersebut harus sejalan dan tidak saling bertentangan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun