Mohon tunggu...
ashiong munthe
ashiong munthe Mohon Tunggu... Pengajar -

Saya senang belajar dari siapa pun, dimana pun dan dengan apa pun....:) Hidup berjuang untuk mampu bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Pertuhankan Pendidikan Formal!

27 Juli 2015   10:27 Diperbarui: 27 Juli 2015   10:27 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat menjelang masyarakat ekonomi Asean (MEA) tahun 2016, ada banyak masyarakat yang latah bahwa untuk mengasah kompetensi harus digenjot melalui pendidikan formal. Sehingga tidak heran ada banyak iklan perguruan tinggi bermunculan dengan label mengasah kompetensi dalam menyongsong MEA. Penawaran ini khususnya untuk meraih pendidikan tinggi S2 hingga S3. Adanya motivasi untuk meraih jenjang pendidikan tinggi sesungguhnya tidak salah, tetapi harus dikaji dan dikritisi kembali bahwa kompetensi yang diraih oleh seseorang tidak semata-mata hanya melalui jalur pendidikan formal saja. Saya setuju dengan pandangan Muhammad Abdul Zen dari Paramadina menyatakan bahwa pengaruh titel S2 tidak signifikan terhadap meningkatnya pendapatan seseorang. Terhadap daya saing pun tidak terlalu signifikan. Pengaruh itu lebih terasa pada kualitas lulusan S1 dan pendidikan vokasi (Sumber, Media Indonesia, 25/6/2015).

Pendidikan formal itu memang penting dalam upaya meningkatkan kompetensi seseorang,  namun harus disadari juga bahwa pendidikan itu tidak hanya berada dalam jalur formal saja, tetapi ada nonformal dan informal. Hal ini sangat jelas diakui oleh undang-undang sistem pendidikan nasional kita yang tertuang dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah, seperti pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga perguruan tinggi. Pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal, seperti tempat kursus maupun tempat latihan lainnya. Sedangkan pendidikan informal merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan dengan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab. Sementara arti dari kompetensi itu sendiri adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh seseorang.

Jika pendidikan formal menjadi solusi utama dalam menghadapi MEA, maka jangan heran jika akan semakin banyak terjadi komersialisasi pendidikan. Pendidikan dijadikan sebagai lahan bisnis yang menjanjikan bak industri untuk meghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memakai isu menyongsong MEA. Hal ini juga akan berimbas pada maraknya penjualan ijazah dengan memanfaatkan legalitas yang sudah dimiliki perguruan tinggi.

Padahal, jika kita melihat ada banyak musisi, olahragawan, pekerja seni, teknisi komputer atau wartawan sekalipun yang memiliki kompetensi mumpuni dibidang masing-masing bukan karena diperoleh melalui jalur pendidikan formal, melainkan pendidikan informal maupun pendidikan nonformal. Mari kita lihat sejenak Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang hanya tamat SMP tetapi memiliki perusahaan besar. Pertanyaanya adalah di mana dia memperoleh kompetensi yang mumpuni untuk bisa mendirikan perusahaannya? atau dari mana pula dia bisa memahami bisnis penerbangan dan lobster? Apakah dari pendidikan formal? Ternyata tidak. Jika mempelajari riwayat pendidikan beliau maka bisa ditebak bahwa kompetensi yang diperoleh adalah melalui jalur pendidikan informal dan nonformal.

Mari kita melihat contoh kedua lagi, yaitu Megawati, dia adalah pemimpin partai dan presiden kelima Indonesia. Pertanyaannya adalah darimana Megawati bisa memiliki kemampuan untuk memimpin? Apakah turun begitu saja dari sang ayah? Atau melalui pendidikan formal di perguruan tinggi? Ternyata tidak.  Mengawati hanya lulus SMA dan strata 1 yang pernah ditempuh tidak pernah lulus hingga menjadi presiden. Kemampuan Mengawati lebih banyak terasah saat berorganisasi seperti di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan partai politik.

Kedua contoh di atas menjadi perwakilan, bahwa kompetensi bisa diraih tidak melulu melalui pendidikan formal. Namun, dalam tulisan ini saya bukan hendak menyatakan bahwa pendidikan formal itu tidak penting. Justru penting, malah sangat penting, tetapi jangan itu menjadi acuan satu-satunya untuk bisa memperoleh pekerjaan. Ambil contoh, untuk menjadi tenaga kebersihan saja ada batasan pendidikan formal yang dicantumkan, misalnya tamat SMP atau SMA. Pada hal untuk mendapatkan kompetensi sebagai tenaga kebersihan tidak akan diperoleh dalam jenjang pendidikan SMA, melainkan melalui latihan atau training. Pencantuman ijazah hanya sebatas syarat formal saja.

Seperti yang diutarakah oleh Howard Gardner bahwa manusia itu memiliki kecerdasan majemuk atau multiple intelligences karena Tuhan memang sudah menciptakannya demikian. Artinya adalah harus disadari bahwa setiap individu memiliki kompetensi lebih dari satu. Maka dari itu kita harus menghargai setiap kompetensi yang dimiliki oleh individu dan memberikan peluang yang sama juga untuk dapat bekerja sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi khususnya kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kemenristekdikti RI dan kemennakertrans harus berkolaborasi untuk mewujudkan bahwa pendidikan dan bekerja harus mengutamakan kompetensi, bukan ijazahnya. Ijazah hanya pendamping legal kompetensi yang dimiliki, namun ada banyak juga ijazah dan kompetensi belum tentu selaras. Dengan demikian, harus ada lembaga khusus yang mengurus dan melegalkan setiap kompetensi yang dimiliki seseorang. Setiap individu bisa mendaftarkan secara mandiri dan mengikuti uji kompetensi agar memperoleh sertifikasi atas kompetensi yang dimiliki tersebut. Sertifikasi juga harus diatur kesetaraannya dengan pendidikan formal, sehingga untuk melamar pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan bisa dimanfaatkan.

Sekali lagi ditekankan, bahwa kompetensi seseorang bisa diperoleh melalui berbagai cara dan metodenya masing-masing. Pemerintah harus mampu mengakomodir setiap kompetensi untuk dihargai dan diberikan porsi yang sama, baik yang ditempuh melalui pendidikan formal, nonformal maupun yang informal. Sehingga kita tidak terjebak dalam situasi yang selalu mempertuhankan pendidikan formal di semua lini. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun