Mohon tunggu...
Andi Pasenringi
Andi Pasenringi Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Apa adanya

Juru wabah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Patriotisme yang Diabaikan

12 April 2011   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:52 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir sebulan ini, dua puluh ABK Kapal “Sinar Kudus” milik Samudera Indonesia, dikerangkeng dilaut sebagai sandera bajak laut Somalia, yang terkenal garang. Selama itu pula keluarga, pemilik kapal dan pemerintah berupaya bebaskan sandera. Detik-detik menegangkan dalam pertaruhan jiwa yang sulit digambarkan dilalui saudara kita disana. Diplomasi dan negosiasi sudah dicoba berbagai pihak menyelesaikan masalah itu tapi tak mempan. Belum ada upaya yang sukses mengantar pulang para pelaut yang hanya mencari sesuap nasi buat keluarga tapi berakhir sebagai tawanan para eks milisi. Kapal dan ABK, Indonesia, pemimpin ASEAN saat ini. Sebagai bangsa besar, kehormatan kita terkoyak lagi. Negeri ini keok berhadapan dengan perompak!!!. KoreaSelatan, bahkan Malaysia tak beri ampun perompak ketika kapal mereka dibajak. Perompak disikat oleh tentara negara itu tanpa melukai sandera. Di kita, bahkan pejabat yang mengeluarkan pernyataan sekitar pembajakan sama sekali tidak menaikkan posisi tawar ABK yang disandera dimata pembajak. Pemerintah justeru memainkan peran seperti yang dikehendaki perompak. Padahal tanpa pengerahan tentara dan senjata kalau pernyataan pemerintah tegas tanpa kompromi dengan pembajak, posisi tawar pembajak akan melemah sebaliknya bargaining positition kita naik. Perompak mungkin akan menurunkan uang tebusan termasuk cara tebusan yang lebih arif, misalnya dengan transfer. Tapi apa??...tangis para isteri dan anak-anak pelaut Indonesia itu hanya dapat terhenti ketika kerongkongannya perih tak dapat bersuara dan air mata kering, habis.

Ditengah miskinnya jiwa patriotisme pemimpin kita membela kehormatan bangsa. Sekelompok petugas patroli perairan laut KKP (perikanan dan kelautan) menunjukan kekukuhan jiwa dalam membela kedaulatan Negara. Patriotisme luar biasa! Dengan berbekal senjata seadanya sebagai petugas sipil dipersenjatai mereka tidak gentar dengan gertakan helikopter Malaysia yang mengarahkan senjata kepada mereka saat menarik paksa kapal nelayan Malaysia yang masuk ke perairan laut Indonesia secara illegal.

Di Malaysia, isu ini menjadi isu sentral. Semua media disana memberitakannya. Pejabat berwenang melakukan konferensi pers, diantaranya ada yang coba pengaruhi opni publik bahwa sikap petugas KKP kita berlebihan menangkap nelayan yang katanya hanya sekedar mencari makan. Padahal melampaui teritorial suatu Negara tanpa izin bukan soal cari makan tapi martabat.

Dalam ketegangan soal batas laut di Ambalat beberapa waktu lalu, kita dipermalukan dengan sikap provokatif kapal tempur malaysia yang ditanggapi tidak sepadan dengan kapal perang kita. Belum lupa kita dengan perlakuan itu, kembali petugas Malaysia menangkapi petugas KKP yang notabene sedang menangkap nelayan Malaysia dalam kasus pelanggaran tapal batas dan pencurian ikan. Betapa memalukannya, tak ada tanggapan berarti dari pemerintah.

Sikap petugas KKP yang gagah berani “meladeni” gertak sambal patroli Malaysia yang lalu ciutkan nyali tentara diraja Malaysia itu perlu diapresiasi oleh semua pihak khususnya pemerintah. Lalu bagaimana kita menaggapi berita itu?. Ketika orang di seberang sana serius menjadikan kasus itu sebagai masalah besar dengan berbagai berita dan pernyataan pemerintahnya, kita tenggelam dengan hiruk pikuk aksi tari "chaiya-chaiya"polisi humanis Briptu Norman, Politisi dan pemerintah berdebat tentang pembangunan gedung baru DPR dan sejumlah berita gossip picisan yang tak pernah hilang dari layar Tv Indonesia. Tidak pernah terdengar perbincangan patriotisme itu di café para executive atau mall-mall atau di ruang kuliah para calon pemimpin bangsa ini. Cerita kepahlawaanan petugas KKP itu hanya jadi cerita para nelayan dan petani kecil diladang dan warung kopi pinggir jalan.

Nasionalisme menjadi barang mahal di negeri ini. Patriotisme tak ada nilai lagi. Maka pantaslah negara ini  tak pernah direken dalam percaturan bangsa-bangsa. Keberadaannya tak terlihat kecuali saat didera bencana besar, miris!!!. Sikap petugas KKP kita itu tentulah dipicu oleh kecintaan yang dalam terhadap tanah airnya. Maka selembar nyawa tak ada nilai lagi bagi mereka ketika berhadapan dengan soal pertaruhan martabat bangsa. Patriotisme yang sejogyanya ditulis dalam buku cerita anak-anak agar terukir bak prasasti di sanubari mereka bahwa masih ada tauladan bagi mereka, genenerasi sesudah kita yang miskin panutan. Petugas KKP itu pantas disematkan lencana didadanya. Di undang ke Istana Negara dalam upacara militer yang khidmad dipimpin oleh Presiden. Upacara itu hanyalah seremonial tapi berarti besar bagi bangsa ini. Malaysia yang selalu memaksa kita membawa persoalan tapal batas ke forum internasioanal karena mereka tahu lawan mereka hanyalah diplomat anak bawang yang dengan mudah di”kanvaskan”.

Bila saja Pemerintah peduli pada apa yang dilakukan petugas KKP kita itu, Malaysia akan berhitung seribu kali mempermainkan Indonesia soal tapal batas. Penyematan lencana itu menjadi “psi-war” bahwa kita meletakan kehormatan bangsa diatas segalanya apalagi hanya soal ketakutan tak ada "penampungan" pengangguran yang tidak dapat diurusi di dalam negeri lalu dikirim sebagai TKI disana karena ketidak berbayaan kita memberdayakannya.

Petugas KKP itu mengajarkan bagaimana memaknai nasionalisme dengan sikap patriotisme, maka masihkah prilaku mereka dianggap sebagai hal lumrah dalam melakukan tugas??? tidak bung, Negara besar tidak pernah mengabaikan sikap patriotisme warganya, sekecil apapun. Di Amerika, hal-hal remeh yang bernilai Patriot selalu mendapat tempat dan masuk dalam list peng-anugerahan lencana dari Negara,. Lalu kita???? Patriotisme diabakan….

Depok 12 april 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun