Mohon tunggu...
Apiko Joko Mulyono
Apiko Joko Mulyono Mohon Tunggu... -

Jurnalis independen

Selanjutnya

Tutup

Politik

Evaluasi untuk PKS: Antara Rakus dan Kepercayaan Diri Berlebihan

14 Juli 2012   07:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:58 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13422517931593997758

itoday - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah fenomena menarik lain di Pemilukada DKI Jakarta setelah euforia media terhadap gemerlap pasangan calon gubernur besutan PDIP-Gerindra, Jokowi - Ahok.

PKS dalam Pemilukada Rabu, 11 Juli 2012 yang lalu, hanya menjadi juara tiga dengan perolehan suara berdasarkan hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei di kisaran 11 persen lebih sedikit.  Sebuah perolehan tidak signifikan dibandingkan sikap PKS yang mengusung sendiri calonnya tanpa menggandeng partai lain.

Para petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mulai tidak percaya diri dengan mengusung klaim sebagai partai bersih ini, tentu harus mengevaluasi habis hasil kinerja politiknya dalam helatan pemilihan Pemilukada paling bergengsi tersebut. Evaluasi menyeluruh bagi PKS, sebagai partai dakwah, jelas bukan sekadar evaluasi strategi dan taktik politik an-sich. Namun ia harus berdimensi ruhaniah perilaku partai, yang sesungguhnya adalah perilaku para manusia di dalamnya. Sebagai partai yang berkhidmat di dakwah sambil berpolitik atau berpolitik sambil berdakwah, maka kekalahan di Pemilukada DKI Jakarta adalah sebuah hantaman lebih dasyat lagi, setelah partai ini pernah menjadi bulan-bulanan media akibat ulah negatif segelintir oknum partai, yang terkadang hanya bersifat pribadi, misalnya kepergok sedang menikmati gambar porno, atau yang lebih serius dicokok aparat hukum sebagai tersangka korupsi. Berbeda dengan PKS, masyarakat nampaknya tak terlalu peduli dengan perilaku oknum-oknum partai lainnya. Partai-partai lain, terutama partai besar, semacam PDIP, Demokrat atau Golkar tak kurang-kurang dengan berita-berita negatif, yang semuanya mayoritas di sekitar urusan selangkangan alias skandal seks dan kasus korupsi. Kendati partai-partai tersebut bakal hancur juga akibat pemberitaan negatif yang terus-menerus. Ketika hal tersebut menyangkut PKS, maka masyarakat sangat terhentak. Terutama masyarakat yang melek politik dan melek agama. Pasalnya, diibaratkan ustadz, maka PKS itu seperti ustadz yang setiap hari mengajar tentang moral agama, namun tiba-tiba kepergok sedang mencuri uang, atau kepergok sedang selingkuh persis seperti sebuah cerita dalam novel dakwah Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Maka dalam kekalahan telak PKS di Pemilukada DKI Jakarta maka ada tiga pertanyaan yang bisa menjadi bahan renungan bagi PKS di dalam ‘mihrab ibadah politiknya’.

Satu, terkait dengan keputusan PKS mengusung sendiri calonnya di Pilkada DKI Jakarta, maka pertanyaannya adalah  apakah PKS sudah sedemikian percaya diri, yang dalam bahasa agama, mendekati takabur, sehingga nekad maju sendiri tanpa mau menjajaki kemungkinan berkoalisi? Padahal partai sekaliber PDIP, Demokrat, dan Golkar saja, tak mau menanggung resiko dikeroyok, sehingga mereka mau membangun koalisi dengan partai-partai lain?

Dua, terkait dengan peluang kekuasaan, apakah PKS tak memikirkan dituding rakus karena single-fighter mengusung calon sendiri, yang dengan demikian akan mengangkangi semua kue kekuasaan, jika menang, tanpa mau berbagi dengan pihak lain? Tiga, masih terkait pertanyaan sebelumnya, apakah PKS sudah mulai tak sadar diri atau tak tahu diri, karena gurihnya kekuasaan, sehingga tetap nekad mengusung sendiri calonnya, padahal belakangan PKS dihancurkan citranya oleh ulah segelintir oknum dan kisruh internal partai?

Memang benar, PKS berkoalisi dengan PAN, namun apakah keputusan koalisi hanya dengan PAN sudah tepat dari segi hitungan politik? Seberapa signifikankah PAN mampu menyokong suara bagi pasangan Hidayat Nurwahid dan Didiek J Rachbini? Sangat dikhawatirkan, keputusan berkoalisi hanya dengan PAN adalah sebuah kesalahan yang fatal. Terlebih, wakil yang diajukan PAN untuk mendampingi HNW adalah Didiek, yang boleh dibilang hanya populer di kalangan akademisi, LSM dan segelintir anggota masyarakat yang melek politik. Jangan-jangan, jika PKS benar-benar usung sendiri calonnya, tanpa PAN, maka hasilnya juga tak jauh berbeda, bisa 9-10 persen?

Fenomena kekalahan Golkar juga menjadi sebuah pelajaran, ternyata mengadalkan partai tak terlalu efektif. Masyarakat masih suka dengan figur yang menonjol, yang mampu memperlihatkan pesona pribadinya. Dan sekaliber Golkar saja, dan juga Partai Demokrat yang berkoalisi dengan partai-partai gurem lainnya, tak mampu mengalahkan Jokowi-Ahok, yang tentunya, begitu seksi di mata publik, ketimbang Foke yang tak jelas dan terasa prestasinya selama memimpin Jakarta.

Maka, boleh disimpulkan sementara, koalisi PKS dengan PAN adalah sebuah langkah politik PKS yang tidak serius, tidak matang. Keputusan PKS mengusung sendiri calonnya tanpa membuka koalisi serius dengan banyak partai yang potensial adalah jauh dari ekspektasi masyarakat atas kepercayaan kekuatan kompromi dan koalisi. Bisa saja PKS atau partai lainnya untuk menyapu bersih peluang-peluang untuk mendapatkan kekuasaan,  itu jika memang hitung-hitungan politiknya benar-benar mendekati eksak. Namun, untuk sebuah capaian PKS yang hanya mengandalkan kader-kader loyal, menjadi sebuah pertanyaan besar, ada agenda apa dibalik kepercayaan diri yang berlebihan dalam Pemilukada DKI Jakarta? Orang-orang yang sudah mulai melek politik, dan saya kira sebagian besar orang Jakarta cukup melek politik, akan mengajukan pertanyaan lanjutan: apakah jika PKS yang menang, akan menjadi faktor perubahan positif – berupa kesejahteraan dan keadilan - bagi bangsa. Ya, bagi semua kelompok anak bangsa, bukan kelompok mereka sendiri? Ada sekelompok besar warga Jakarta yang jelas belum begitu percaya dengan PKS  bahwa pertai tersebut  siap untuk membangun kehidupan yang dilandasi komitmen untuk bersama-sama mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, serta kehidupan yang menghargai pluralitas masyarakat Jakarta. Ini terbukti, 42 persen pemilih warga Jakarta, tidak memilih calon PKS, tetapi memilih Jokowi – Ahok, yang lebih mencerminkan kemusliman, nasionalisme, dan pluralitas ketimbang pasangan calon lain.* Opini pribadi oleh ApikoJM; Bisa pula dibaca di http://www.itoday.co.id/politik/evaluasi-untuk-pks-antara-rakus-dan-kepercayaan-diri-berlebihan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun