JIKA musim berganti secara teratur, niscaya setiap orang yang pernah menjadi orang nomor satu di Jakarta, menganggap bulan Januari adalah bulan horor. Pasalnya, di bulan itulah, sampai biasanya bulan Maret, Jakarta berubah menjadi kolam raksasa.
Tak terkecuali, Januari, juga bulan horor tersendiri bagi Gubernur DKI Jokowi.
Bagi gubernur zaman Belanda, era Orla atau era Orba, bulan Januari niscaya tak terlalu menakutkan. Sebab, mereka naik ke tampuk pimpinan tanpa harus didahului oleh janji-janji. Jaman penjajahan, malah tanggungjawab seorang gubernur hanyalah kepada pimpinan di atasnya, yang menunjuknya sebagai – saat itu -- istilahnya masih walikota.
Para walikota itu tentulah semuanya pernah dipusingkan oleh banjir Jakarta. Mulai dari Walikota Mr. G.J. Bisschop (1916-1920) sampai drs. A.Th. Boogaardt (1945-1947). Setiap walikota Jayakarta itu tentunya bertanggungjawab kepada atasannya, sang gubernur jenderal yang memimpin VOC dan berkedudukan di Jayakarta. Gubernur Jenderal yang cukup popular saat itu adalah Jan Pieterszon Coen.
Gubernur jaman kemerdekaan – Orla maupun Orba – niscaya juga tak terlalu dipojok-pojokkan warga Jakarta akibat banjir. Kendati mereka tetap punya kewajiban mengatasi air yang sering disebut banjir kiriman dari Bogor itu. Sebuah istilah yang mengandung sinisme menyalahkan Bogor sebagai penyebab banjir di Jakarta. Padahal, siapa yang membangun vila-vila di Puncak dan membuang sampah sembarangan di sungai-sungai utama Jakarta?
Tapi gubernur era Reformasi penuh dengan tagihan-tagihan atas janji-janjinya saat kampanye Pilkada DKI. Perubahan sistem pemilihan gubernur, membuat setiap orang yang ingin menduduki kursi DKI-1 harus mengumbar janji, dari Fauzi Bowo dan Jokowi. Jika jadi, janji itu pun seperti hantu yang mengejar sang Gubernur.
Bahkan, saat Jakarta dipimpin Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo, sang gubernur yang berkumis tebal itu harus banyak mendapat hujatan dari warga Jakarta. Termasuk dalam soal banjir. Foke dikecam, lantaran mengecilkan banjir yang menyengsarakan warga Jakarta itu ‘hanya’ merupakan genangan air belaka. Padahal pengecilan istilah banjir itu tak membuat Jakarta terbebas dari kehancuran insfrastruktur serta hilangnya nyawa. Kenyataannya, Foke pun harus dibuat tak berkutik oleh air yang menggenang itu. Padahal ia sudah terlanjur memuji diri dengan meminta kepada warga untuk menyerahkan Jakarta kepada 'Ahlinya'. Sampai kemudian jabatannya yang ingin dipertahankan itu harus diserahkan kepada Jokowi, mantan Walikota Solo yang sebelumnya bukan warga Jakarta dan tidak menjadikan Jakarta sebagai rumahnya.
Dan kewajiban kesediaan jadi Gubernur DKI hari ini adalah pemenuhan janji-janji. Janjinya yang manis saat berkampanye telah mampu menjadikan pemilih di Pilkada DKI Jakarta pada 2012 yang lalu, berpaling kepada sosok Jokowi yang berperawakan kerempeng dan ndeso itu. Jika pemenuhan janji itu dinilai tak terpenuhi, maka dia pun harus siap menanggung resiko, berupa hujatan-hujatan warga yang giliran membanjiri Jokowi.
Mampukah dalam lima tahun ke depan Jokowi menjadikan Jakarta lebih nyaman karena terbebas dari banjir? Mampukah Jokowi mengusir bencana yang selalu datang setiap tahun dan telah melanda sejak puluhan tahun yang lalu?
Antara harapan dan keputusasaan sepertinya bakal saling mengganti. Tergantung seberapa besar kredibelitas, kompetensi, leadership dan semangat seorang Gubernur DKI Jakarta serta dukungan warga Jakarta sendiri, dalam mencegah dan mengantisipasi banjir.
Ada baiknya, di dalam mengatasi persoalan pelik Jakarta, tak hanya banjir tentu saja, kita mengingat kembali pesan Jan Pieterszoon Coen, yang menjadikan Sunda Kelapa atau Jayakarta atau Batavia atau Jakarta sebagai tempatnya tinggal dan kantornya saat diangkat jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1619-1623).