[caption caption="Sumber gambar: Twitter Zen RS. @zenrs"][/caption]Media digemparkan oleh berita mengejutkan yang datang dari Lumajang, Jawa Timur. Daerah yang selama ini terlihat ayem ternyata menyimpan gejolak. Beberapa berita mulai bermunculan, tentang seorang pria --Salim 'Kancil'-- yang dibunuh dan Tosan --yang dianiaya hingga kritis-- karena menolak tambang pasir di Selok Awar-Awar Lumajang. Foto dan gambar dukungan mulai beredar luas di dunia maya. Salah satunya adalah milik komunal stensil. Banyak yang mengganti foto profilnya dengan desaign milik komunal stensil sebagai perlambang turut berduka cita. Saya sendiri juga mengupload gambar tersebut, repost dari akun instagram Arman Dhani.Â
Apa yang Sebenarnya Terjadi di Selok Awar-Awar?
Gejolak pertambangan pasir di Selok Awar-Awar sudah berlangsung selama dua tahun ini. Sebelumnya tak banyak yang mengungkapnya, sampai akhirnya terjadi pertumpahan darah. Berawal dari upaya pembuatan kawasan wisata oleh kepala desa Selok Awar-Awar --Hariyono-- di Pantai Watu Pecak. Ia mempertemukan semua warga, kemudian menyampaikan bahwa Watu Pecak akan diratakan untuk daerah wisata. Usulan tersebut ditolak beberapa petani. Mereka menganggap bahwa itu hanya trik untuk mengelabui warga. Kepala desa ingkar janji, penambangan pasir yang katanya hanya untuk meratakan gundukan pasir membentuk lubang besar dan terjadi sampai sekarang. Di sepanjang pantai Watu Pecak terdapat puluhan hektar sawah milik warga. Akibat dari penambangan tersebut sangat merugikan mereka. Lahan pertanian terkena air laut dan rusak, kondisinya semakin terkikis oleh area tambang pasir.Â
Safari, petani pertama yang melakukan protes terhadap kepala desa mengaku tidak pernah mendapat tanggapan sama sekali. Kemudian Ia meminta bantuan kepada salah satu tokoh masyarakat bernama Hamid. Akhir tahun 2014, puluhan petani  Selok Awar-Awar melakukan aksi penolakan penambangan pasir di daerahnya. Mereka mendatangi DPR. Disana, Hamid dan beberapa perwakilan petani hanya diminta untuk membuat surat laporan. Hal tersebut membuat kecewa, apalagi mendengar tanggapan pihak DPR yang mangatakan bahwa mereka (para petani) toh tidak akan memilihnya.Â
Merasa tak punya kekuatan lagi untuk memperjuangkan lahannya, awal tahun 2015 Safari beserta Hamid sebagai perwakilan dari para warga --yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar Awar Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang-- pergi ke Jakarta untuk mengadu ke pemerintah pusat. Rencana tak sesuai dengan kenyataan, mereka hanya bertemu dengan ICW dan Walhi Jakarta. Walhi meminta Hamid untuk menyelesaikannya dari lingkup terbawah dulu. Dalam pertemuan tersebut, Walhi menjanjikan akan memberikan dukungan sepenuhnya. Hamid pulang dan dibekali kartu anggota serta surat dari Walhi. Â
Sepulang dari Jakarta, Hamid mengirimkan surat ke ke Presiden, DPR RI, Menteri Lingkungan Hidup, Perhutani, Menteri Pertanian, DPR Surabaya, dan ke Gubernur Jawa Timur. Ternyata surat yang turun lebih dahulu berasal dari Gubernur. Namun, hal tersebut semakin membuat kelompok pro tambang geram. Tekanan dan intimidasi seringkali dilakukan pada para petani yang menolak tambang. Safari mengaku didatangi 12 orang ketika sedang di sawah. Ia didudukkan di pantai Watu Pecak. Karena menunjukkan kartu Walhi, ia terselamatkan dari penganiayaan. Amarah semakin memanas, Hamid dicari. Ia mengaku juga mendapatkan intimidasi dari pihak pro tambang. Hari-harinya selalu diintai. Entah kabar apa yang menyebar luas di masyarakat, toko yang ia buka sampai tidak laku selama 7 bulan dan akhirnya tutup. Hamid menggantinya dengan selepan tepung untuk tetap menyambung hidup. Â
Selama berbulan-bulan sampai sekitar bulan Juni masyarakat yang menolak tambang seringkali mendapat intimidasi dan tekanan dari kelompok pro tambang. Beberapa di antaranya bahkan mengaku sudah putus asa dengan keadaan tersebut. Hamid akhirnya menyusun kekuatan kembali. Ia membuat surat pemberitahuan untuk audiensi pada Bupati. Sekitar 200 warga Selok Awar-Awar siap untuk ikut. Surat itu ditarik oleh Camat karena merasa bahwa yang paling bertanggung jawab terhadap permasalahan itu adalah pihaknya. Abdul Basar selaku Camat, meminta agar kasus tersebut diselesaikan di tataran kecamatan terlebih dahulu sebelum disampaikan ke Bupati.
Seminggu menunggu, tidak ada respon. Hamid mengambil inisiatif untuk langsung menghubungi Bupati lewat pesan singkat. Ia kecewa karena Bupati juga tidak mengambil tindakan tegas tentang hal tersebut. Bupati menyarankan kalau masalah tersebut harus diselesaikan dulu di tingkat kecamatan.
Hamid kecewa, begitu juga dengan beberapa warga yang turut berjuang bersamanya.
Pada Hari Senin tanggal 7 September 2015, Bupati menelepon Camat Abdul Basar untuk segera menyelesaikan pergolakan tambang pasir di Selok Awar-Awar. Esoknya, 8 September 2015, dua kelompok yang bermasalah dipanggil di kantor kecamatan. Di sana tidak ada pertemuan antara kedua belah pihak. Kedua belah kelompok dipanggil satu-satu untuk menemui camat. Tidak ada kesepakatan pasti. Camat hanya menyampaikan bahwa tuntutan untuk menghentikan tambang pasti dikabulkan.Â
Sembilan September 2015, warga melakukan aksi damai dengan menyetop truk pasir yang lewat di jalan Desa Selok Awar-Awar. Belasan truk berhenti tepat di tengah rumah Tosan. Tidak ada tindakan anarkis yang dilakukan. Beberapa polisi pun datang untuk ikut mengamankan. Tidak lama kemudian Camat datang ke rumah Tosan. Dia membawa surat pernyataan penghentian penambangan pasir di Pantai Watu Pecak. Kepala desa menyanggupi untuk menghentikan truk pasir yang melewati jalan Desa Selok Awar-Awar.
Surat pernyataan itu membuat lega para warga. Namun hal tersebut tak berlangsung lama. Delapan hari kemudian, aktivitas tambang kembali lagi. Truk-truk pasir pun kembali beroperasi. Hamid dan beberapa warga bingung, lantaran sudah ada surat pernyataan resmi yang ditandatangani oleh kepala desa. Hal tersebut membuat suasana panas. Warga penolak tambang mengancam akan melakukan demo. Pemberitahuan ke kepolisian dan beberapa lembaga terkait sudah dilayangan. Demo tersebut sedianya akan dilakukan pada tanggal 26 September 2015.Â