Pagi-pagi, ada anak menangis. Saya baru saja berdiri di depan kelas mendampingi pemimpin barisan yang memberikan aba-aba. SENGAJA saya mengabaikan anak yang menangis itu. Setelah menyalami semua anak, dan berdoa, anak yang memimpin barisan duduk. Saya memberikan salam pagi. "Good morning! Agenda on the table!" Sementara semua siswa menyiapkan agenda saya memanggil seorang siswa yang tulisannya rapi, dan cukup tinggi untuk menuliskan agenda di papan tulis. Saya melangkah ke pintu kelas, seraya memanggil siswa yang menangis.
Saya membawa anak itu keluar kelas, dan menanyakan apa yang terjadi. Rupanya, dia dan anak lain bercanda dan kemudian tak sengaja kena mata. Sakit katanya. Saya bermaksud memeriksa matanya, namun kemudian menyadari bahwa, akan lebih baik jika anak yang menangis itu, saya suruh membersihkan mukanya dulu, sambil memanggil teman mainnya yang membuat ia menangis. Sementara yang menangis mencuci mukanya, temennya saya tanyai. Benar, sebenarnya hanya bermain lalu tak sengaja anak tersebut kesakitan. Saya menasehati, agar lebih hati-hati saat main.
Lucunya, buat saya, anak itu menangis saat saya tanya. Sebenarnya sih saya curiga juga karena dia jadi menangis. Kalau tidak salah kenapa menangis?
Malah saya tegur. "memang Ms. marahin kamu? Ms. kan hanya bertanya. Berhenti ngga nangisnya?"omel saya. Akhirnya anak itu bisa mengendalikan diri. Ia saya suruh masuk kembali ke kelas, lalu melanjutkan menulis agenda.
Yang nangis sudah kembali. Pertama saya bertanya masih sakitkah? Ketika ia menjawab tidak, maka saya memutuskan mengalihkan perhatiannya. Saya menyuruhnya menulis agendanya.
MENGABAIKAN. Walaupun sebenarnya saya bukan tak peduli. Saya hanya mencari waktu lain untuk mengobrol dengan siswa tadi. Seingat saya, anak ini memang type sensitif, dan saya sudah mengenal dia sejak kelas sebelumnya.
Pulang sekolah saya tahan anak ini. Apakah matanya masih sakit? Apakah ia masih merasa tak enak? Tadi sedang main betul? Anak itu mengiyakan. Ia sedang main tadi. Sekarang sudah tidak sakit. Saya kemudian menasehati dia, bahwa menangis tak menyelesaikan masalah. Ia perlu mengendalikan diri. Kamu sudah kelas lima, nak. Kalau memang sakit, periksalah ada yang luka atau tidak. Cari bantuan. Menangis, kamu dilihat teman teman apa tidak malu. Anak itu diam. LAMA. Kemudian ia mengiyakan.
Anak usia kelas lima sudah bukan waktunya saya semata-mata menggunakan otoritas. Berbicara dari hati ke hati seringkali membantu. Sudah kelas lima. Mantra lain yang saya gunakan, jika siswa tak membuat pe-er, atau bertindak semaunya. Kelas lima artinya sudah lebih besar dari kelas 1,2,3,4.
Kamu sudah kelas lima, Nak.
Sebagai guru, kadang saya cemas anak saya dinakali temannya. Membangun hubungan dengan anak menjadi salah satu cara saya menjaga setiap anak. Saya juga mengajari mereka jangan cengeng.
Laki-laki, kelas lima, menangis karena merasa sedikit sakit? Sensitif perlu, cengeng jangan.