Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pembalasan Terindah

5 April 2015   11:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:31 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pembalasan Terindah

Alkisah di sebuah negara kerajaan hiduplah seorang kaya yang sangat termashur. Ia diberi kepercayaan sang raja sebagai seorang juru bicara. Makin berkuasalah ia.

Sayangnya, demikian sifat manusia. Semakin berkuasa, semakin ia menginjak orang orang yang tak punya daya. Orang kaya ini bertindak semaunya, karena sang raja selalu mempercayai dia. Orang kaya ini seolah sangat beruntung, karena ia juga dikaruniai wajah yang tampan.

Di suatu sudut kota tinggalah seorang pria yang pendiam. Ia bekerja dengan rajin dan juga baik hatinya.

Dalam suatu masa, kedua orang ini berpapasan. Di perjalanan yang bersilangan. Orang kaya dengan ratusan pengiring, dan si Pendiam dengan kesunyian menuju sawahnya.

“Minggir,” bentak si pengawal, pada si Pendiam. Si Pendiam menyisihkan jalan. Namun si kaya dengan sombong meludah. Mengenai wajah si Pendiam.

Dalam budaya masyarakat itu, diludahi adalah suatu penghinaan yang besar. Di depan banyak orang pula. Si Pendiam mengambil batu, dan siap melemparkannya pada si orang kaya. Untung seorang ibu menahan tangan yang menggenggam batu itu.

“Ia seorang pejabat, maukah kau dipenjara melempar batu pada orang itu?”

Peringatan si ibu membuat pendiam membuang kembali batu itu. Lalu memungutnya lagi. “tak selamanya ia akan menjadi pejabat! Suatu hari, akan kulempar batu ini!” kata si pendiam penuh tekad.

Bukan hanya pendiam yang dihina dan dilukai hatinya. Banyak sekali rakyat dan sesama pejabat yang disikut. Semua menyimpan rasa, menanti kesempatan. Sikutan dan ludah yang mudah sekali dikeluarkan si Kaya, tiada balas awalnya, karena ia berkuasa. Ia juru bicara raja. Namun orang menunggu, saat pembalasan.

Benarlah. Hari itu datang. Raja mendengar kelakuan si orang kaya. Ia menurunkan orang kaya itu dari jabatannya. Kekayaannya dirampas untuk kerajaan dan, belum cukup, orang kaya itu dijatuhi hukuman mati, karena ternyata telah lama melakukan penggelapan uang negara.

Orang-orang melemparkan batu yang mereka simpan. Mereka tertawa mendapat kesempatan melakukan pembalasan.

Pendiam berada di antara orang-orang itu. Namun, sekali lagi, saat ia hendak melemparkan batunya, sekelebat pemikiran muncul, dulu, ia tidak melemparkan batu karena ia tak berdaya. Sekarang, si kaya itulah yang tak berdaya. Jika ia melemparkan batu itu, apa bedanya ia dengan si Kaya?

Ia berdiri dan menghadang batu-batu yang dilempar, “Hentikan!” katanya.

Semua orang memandang si Pendiam. Jarang memang ia membuka suara. “Kita melempar batu karena ia tak berdaya. Kenapa tidak saat ia berkuasa?”

Pertanyaan si Pendiam membuat orang termenung. Mereka meninggalkan tempat itu.

Membalas seseorang, memang mudah saat ia tak berdaya. Beranikah saya, atau anda melakukannya saat ia berkuasa? Seindah-indahnya pembalasan, yang terindah adalah tidak membalas.

Selamat paskah.

Maria Margaretha

NB:

Di mana sudah dibalaskan semua salah dan kejahatan.

Biarlah maaf selalu ada di hati kita.

Kebangkitan Yesus memberi harapan

ada maaf bagi setiap pengakuan salah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun