Beberapa waktu yang lalu, saat saya baru pertama kali bergabung dengan Kompasiana, 6 Juni 2013 tepatnya, senang sekali diajak berteman oleh Opa Tjiptadinata Effendi dan ibu Helena Roselina. 4 teman pertama saya di Kompasiana adalah Pak Tjipta dan istri serta mbak Lizz dan suami.
Suatu malam saya tak bisa tidur karena badan saya sakit tak keruan, saya membaca semuaaaaaaa tulisan mbak Liz di lapaknya. Puas, dan jadi obat tidur karena akhirnya sakit mereda dan mata bisa terpejam. Tulisan mbak Liz selalu masuk daftar bacaan week end saya. Sempat saya merasa kehilangan mbak Liz waktu kompasiana mobile selalu error. Saya tak tahu sekarang ini bagaimana mbak Liz bisa selalu posting dan memuaskan hasrat membaca saya.
Menulis fiksi, maksud saya cerita itu tak mudah. Ada alur, setting, amanat, karakter dan sifat tokoh yang harus digambarkan. Puisi mengandalkan diksi dan rima. Tetapi cerita, banyak sekali aspek yang perlu digarap.
Kenangan saya dengan Opa adalah inbox-nya mengundang dalam pertemuan di Happy Day Restoran yang memperkenalkan saya pada Pak Katedrajawen, Pak Odam, Pak Andika, Pak Thamrin dan Bu Rokhmah secara tatap muka. Saya memanggilnya Opa, karena sejak kecil saya memang tidak punya Opa dan beliau ternyata tidak keberatan.
Catatan saya tentang Opa adalah dia sangat perhatian. Setelah selesai kopdar waktu itu beliau SMS menanyakan apa saya sudah tiba di rumah. Beliau juga pernah menelepon saya dari Australia. Sesuatu sekali buat saya. Perhatian Opa membuat hati saya sangat terharu. 2 bulan lalu, saat saya di RS Carolus, Opa menelepon lagi. Eh, ternyata mengucapkan selamat ultah. Bayangkan rasa haru yang ada di hati.
Beliau selalu memberi semangat dan bersikap baik pada semua orang. SEMUA orang. Bahkan pada orang yang bersikap tidak empaty sekalipun, beliau selalu menanggapi dengan baik. Saya yang kemudian jadi kesal dan marah kalau ada yang tidak sopan padanya. Tulisannya selalu saya baca, walaupun tidak selalu saya komentari.
Belakangan ini menulis komentar dan membalas komentar jarang saya lakukan. Kehidupan real menuntut saya menyelesaikan banyak hal. Saya juga menyadari untuk Mbak Liz dan Pak Tjipta berlaku hal yang sama. Kehidupan real mereka sudah padat. Membalas komen saya mungkin merepotkan. Saya menunggu saja kesempatan bertemu orang-orang yang saya kasihi ini.
Saya memilih ikut Nangkring, karena dengan mereka yang nangkring saya tahu mereka manusia nyata. Bercakap-cakap dengan kompasianer lain di dunia nyata yang tak hanya membuang waktu di depan laptop. Belakangan saya malah hanya membaca tulisan kompasianer yang pernah saya temui dan pernah nulis buku bersama saya.
36 kompasianer, 25 kompasianer wanita dan 30 kompasianer penulis Pancasila Rumah kita, adalah teman menulis bersama, yang saya bisa klasifikasikan tulisan baik. Sementara yang tidak pernah bertemu, tak jelas asal usulnya, saya memilih melewatkan saja. Saya masih sangat ingat tulisan mbak Indria setelah Nangkring Bareng Kompasianers bicara Kompasiana yang menyitir pernyataan pak Iskandar Zulkarnaen. Katanya, di Internet, ANJINGPUN BISA menulis.
Saya meyakini bahwa manusia memiliki fitrah yang baik sehingga, saat menulis, ada filter rasa etis. Humorpun bisa elegan, tentunya. Tanpa harus membawa-bawa urusan kasur di Kompasiana ini.
Pak Daniel HT misalnya. dengan 1019 artikel, dan 7900 an tanggapan, tulisan opininya memang menarik. Tulisannya dikritik dan dianggap berbahaya, oleh kompasianer lain, namun ia masih mampu menanggapi dengan penyataan argumentasi bukan sekedar haha dan hihi. Pak Daniel bukan unik karena bawa bawa urusan kasur. Saya bisa mengerti kenapa Admin menuliskan seorang kompasianer yang dinominasikan pada katagori unik. Karena tidak mampu menjelaskan sisi baik urusan kasur inilah.