Membangun Budaya Baca
Oleh Maria Margaretha
Saya, terpaksa suka membaca. Dilahirkan dalam keluarga yang berekonomi lemah, saya tidak punya banyak pilihan. Bayar uang sekolah saja setahun sekali, jarang menerima raport karena uang sekolah belum terbayar. TV itu barang mewah, sejak saya kanak-kanak. Hiburan melalui TV hanya memungkinkan jika saya mau jalan kaki ke rumah keluarga yang punya TV. Kadang nontonnya harus ikut selera mereka.
Walau demikian, saya pernah masuk TV ikut cerdas-cermat tingkat SD. Senangnya bukan main. Saya bersama tim, 5 anak ditemani 2-3 guru, ke Surabaya. Saya dapat seragam batik baru dijahit, untuk penampilan itu. Saya diberi bekal uang kurang lebih sebesar uang sekolah. Juara 2, kalah dengan tim dari Trenggalek. Setelah acara selesai, saya tidak beli oleh-oleh. Pulang ke Pamekasan, uang saya tetap utuh dibuat bayar uang sekolah. Saya sadar prioritas sejak masih SD. Hadeuh…
[caption id="attachment_293709" align="aligncenter" width="300" caption="Belajar membaca dari poster di mana mana "][/caption] Kesenangan saya membaca karena saya tidak punya pilihan. Saya bukan tipe yang pandai berbasa-basi atau bertegur sapa. Putri seorang dokter, namanya Chrisma Suryani, punya koleksi majalah bobo seabrek. Karena rumahnya tidak jauh dari rumah saya, biasanya saya senang membaca di sana. Kalau saya membaca biasanya tidak ada yang mengajak ngobrol. Itu sebabnya saya senang.
Selain di rumah mbak Chrisma, ada lagi teman SD, namanyanya Peggy Swandayani. Di rumahnya ada koleksi buku novel anak-anak, seperti Noni, Malory Towers, Trio Detektif, Sapta Siaga, Lima Sekawan, yang sering boleh saya pinjam membawa pulang. Kalau tidak saya baca di sana. Beda dengan menonton, yang saya harus berbagi, membaca itu benar-benar milik pribadi.
[caption id="attachment_293710" align="aligncenter" width="300" caption="Bacaan masa kecil"]

Kegiatan membaca lainnya saya lakukan di perpustakaan sekolah. Saya bisa tahan sepanjang waktu di perpustakaan. Kalau menghukum saya, jangan di perpustakaan, itu bukan hukuman. Saya pasti akan sengaja membuat guru menghukum kalau dikirim ke perpustakaan. Lha wong, surga saya di sana? (kirim ke ruang kepala sekolah, pasti gemetar) Seluruh buku di perpustakaan SDK St’ Redemptus, Pamekasan, jaman saya sudah selesai say abaca sebelum tamat SD.
Saya bisa terbang di khayalan saya, karena tidak merasakan punya uang jajan, sempat terlintas kalau di sekolah berasrama-nya si badung, saya bisa tetap punya uang jajan, karena uang jajan semua murid dikumpulkan dan setiap anak mendapat uang jajan yang sama. Enak kali ya? Namanya anak-anak, imajinasi saja.
Karena membaca lebih privat daripada menonton, saya suka membaca. Walau awalnya terpaksa, saya terlanjur suka aktivitas ini.
Sekarang setelah dewasa, bekerja, saya tetap tidak mau membeli TV. Buat apa? Saya lebih suka kecanduan membaca, daripada menonton. Sesekali saja saya menonton kalau sudah tidak ada bacaan. Menonton sekarang menjadi kegiatan terpaksa, bukan kebutuhan. Membaca, dan menulis itu kebutuhan.
Setelah mengikuti seminar-seminar bahaya tayangan TV apalagi. Saya semakin malas menonton. Kalau ada film bagus, barulah saya menonton, selingan, terpaksa.
Membaca, awalnya memang terpaksa, namun akhirnya jadi kesenangan. Setelah dewasa, baru saya menyadari bahwa kegilaan saya pada buku, membuat saya akhirnya lebih mudah membuat tugas-tugas menulis. Kekayaan bahasa saya didapat dari bacaan-bacaan yang saya baca.
Jadi, mau membangun budaya membaca di rumah anda? Singkirkan saja TV. Sediakan buku. Pasti bisa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI