Belajar pengampunan dan maaf dari Putri Huanzu
Oleh Maria Margaretha
Waktu saya kuliah, senang sekali nonton drama ini. Putri Huanzu. Saya bahkan mencari buku-buku novelnya. Menarik sekali kisah putri putrian dari Negara China ini.
Saya rasa, mungkin beberapa di antara teman-teman ada yang pernah menonton atau membaca bukunya. Saya menikmati drama-nya hampir seperti saya menikmati buku-nya. Mungkin karena bentuknya yang telenovela, sehingga tidak banyak adegan atau kata yang terhapus. Sebaliknya malah lebih tervisualisasi.
Saya cerita serba sedikit ya. Kalau penasaran, coba cari saja tele-nya di You-XXX atau Glodok. Kalau suka baca, saya sarankan cari buku saja. Sama menariknya.
Jadi tersebutlah seorang anak yatim piatu bernama Hsiao Yen Ce, tak sengaja berjumpa seorang gadis manis bernama Cewei dan dayangnya Chin-Suo. Segala cerita berputar di ketiga orang ini, sampai Hsiao Yen Ce kemudian bermaksud membantu Ce Wei menceritakan jati diri Ce Wei malah terjebak masuk di istana Kaisar Chien Lung. Terakhir ketiga orang ini masuk istana Kaisar dan Hsiao Yen Ce dan Ce Wei diakui sebagai Putri Huan Zhu dan Putri Ming Zhu. Jelaslah bagi Hsiao Yen Ce yang spontan dan serba terbatas, karena kurang pendidikan, memasuki istana adalah penjara dan membosankan. Ce Wei bisa lebih beradaptasi, karena memang ibundanya sudah mempersiapkannya sebelum meninggal. Ce Wei ini memang anak Kaisar. (Yah, demikianlah memang si Kaisar ini habis menebar cinta menuai anak yang kemudian dilupakan.Untung akhirnya si Ce Wei diakui). Konflik demi konflik mengalir gara-gara Hsiao Yen Ce ini kemudian dibenci permaisuri, juga ibu suri karena iri hati dan faktor pendidikan. Yah namanya anak jalanan masuk istana jelaslah seperti apa. Namun hal yang saya sangat sukai dari Hsiao Yen Ce ini adalah ke spontanan-nya dan sebetulnya ketulusan-nya. Ce Wei sebenarnya juga seseorang yang lembut dan tulus. Tapi terlalu PUTRI buat saya.
Kedua Putri ini sebenarnya dibuat susah di istana oleh permaisuri dan ibu suri. Dihukum berkali-kali dan terakhir kaisarpun juga menghukum penggal gara-gara kedua putri ini membantu selir kesayangan Kaisar kabur, dan lari dengan kekasihnya. Cewei, Yence akhirnya berhasil dilarikan oleh pasangan kekasih mereka, Pangeran kelima, Yung Chi dan Erkang.
Kisah perjalanan pelarian juga diwarnai banyak hal terutama permaisuri yang belum puas ingin membunuh kelima orang ini.
Ah, akan panjanglah kalau saya ceritakan. 3-6 buku novel masalahnya. Bagian favorit saya itu bagian akhir. Ada rangkuman singkat bagaimana dalam pelarian, selain menyelamatkan nyawa sendiri HYC (Hsiao Yen Ce) ini sibuk sekali menyelamatkan gadis yang mau dibakar gara gara dihamili nak kepala kampung, anak yatim piatu yang dijadikan pemain acrobat, ikut lomba puisi. Bukan main. Tapi, yang paling saya sukai itu justru bagian di mana Permaisuri dan dayangnya yang selalu menyusahkan bahkan ingin membunuh mereka, oleh Kaisar akan dihukum mati, yang menyelamatkan adalah Cewei, Hsiao Yen Ce dan pasangannya, Erkang + Yung Chi.
Waktu Kaisar tetap bersikeras menghukum dayang tua permaisuri, Cewei dengan kepandaiannya membuat puisi melunakkan hati Kaisar, lagi-lagi dibantu Hsiao Yen Ce dan Erkang. Akhirnya dari hukuman mati, ke hukuman pukul, dan hukuman pukul 100 kali menjadi hanya 10 kali. Permaisuri yang tadinya mau dihukum mati pun diampuni, hanya dipisahkan dari anak kandungnya, itupun tak jadi karena Ce Wei lagi-lagi memberikan masukan agar tidak memisahkan anak dari ibu-nya dan menyusahkan selir Ling yang oleh Kaisar dijadikan ibu pengganti.
MENARIK. Bahwa bukan Ibu Suri yang notabene sekutu permaisuri sebelumnya yang membantu permaisuri, namun justru orang yang dimusuhi permaisuri. Menarik juga bahwa ada hikmah dari derita pelarian yang mengajarkan pengampunan.
Pengampunan itu sebenarnya bukan membebaskan pelaku yang membuat kita menderita. Pengampunan itu membebaskan diri kita sendiri dari derita.
Benarkah?
Ya. Saat kita merasa sakit hati dan disakiti orang lain, saat kita merasa di-bully dan sedih karenanya, mengampuni walaupun si pelaku tidak memintanya membuat kita jadi kuat. PERKASA. Mengalahkan sakit hati itu lebih berat daripada sakit fisik. Hanya orang perkasa yang bisa memaafkan tanpa diminta dan tulus. Itulah yang saya pelajari dari putri Huan Zhu dan Ming Zhu.
Kita lebih sering memaafkan karena diminta. Kita memaafkan karena terpaksa. Sudah minta maaf mau apa lagi? Bagaimana jika ada yang terus menerus mengejar untuk membuat kita sakit hati? Sengaja mengejar karena iri atau kekecewaan mereka saja? Seperti permaisuri dan dayangnya? Maukah saya memaafkan?
Ah… buku ini walau novel tetap penuh makna saat hati sedang membara.
Belajar mengampuni, mengampuni. Memaafkan, memaafkan. Melepaskan, melepaskan. Memberi tanpa diminta, dengan tulus. Selamat menikmati Sabtu teman-teman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H