Mengajar matematika itu paling menantang adalah mengajarkan mengerjakan soal cerita. Ceritanya biasa diambil dari kehidupan sehari hari. Misalnya: Bu Guru punya pensil 2 kotak. Tiap kotak isinya 12. Berapa pensil yang bu guru punya?
Soal yang simpel. Tapi untuk anak kelas 2 atau 3 bisa saja pusing menjawabnya. Ini soal 1 langkah jawab saja. Hanya diperlukan perkalian. Tapi ada juga yang menjawab dengan penjumlahan. Kenapa? Karena ngga bisa perkalian.
Soal matematika lain misalnya, Ibu membeli 5 paket buku. Masing masing paket berisi 10 buku. Ibu membaginya pada 2 anak. Apakah ibu punya sisa buku? Jelaskan.
Pada soal ini dibutuhkan 2 langkah. Mula mula mengetahui jumlah buku yang dibeli. Perkalian 10 biasanya bisa dikerjakan anak kelas 2 dan 3. Namun kadang mereka berhenti pada langkah pertama. 5 X 10. Sudah.
Padahal, seharusnya ada langkah kedua yaitu membagi pada 2 orang anak. Yang artinya tidak ada sisa. Barulah bisa dijawab 50 habis dibagi 2. Jadi Ibu tidak punya sisa.
Kok tiba tiba cerita matematika? Iya kan saya mengajar matematika?
Kelemahan anak sekarang adalah memahami soal, kebanyakan. Mereka hanya mencari angka dalam soal dan buru buru menginterpretasikan dengan kali, bagi, tambah atau kurang. Tak heran banyak keluhan perihal soal cerita ini. Orang tua mengatakan nilai matematika anaknya rendah jika sudah berhadapan dengan soal cerita.
Bagaimana cara mengatasinya?
1. Biasakan anak membaca dengan pemahaman. Bukan sekedar mencari angka angka pada soal, namun mengetahui maksud dari soal dan konteks.
2. Pada masa lalu, guru saya suka mengajarkan membuat ringkasan soal. Yaitu, diketahui (fakta), ditanya (proses berpikir), jawab (proses menyelesaikan)
masing masing proses diberi nilai. Saya masih menggunakan cara seperti ini. Setahu saya banyak guru masih menggunakan cara ini. Benar, anak perlu tahu short cut, cara singkat, tapi, pada masa awal sebaiknya anak belajar mengikuti proses.