Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kamu anak Buron ya? (Perbincangan dengan Anak Widji Tukul)

29 Juni 2014   16:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:18 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bapak kamu buron ya? Maaf, saya ngga boleh main sama kamu. Kata bapak saya, bapak kamu, penjahat". Potongan kalimat saya dengar sendiri dari putri Widji Tukul saat ditanya di antara masa masa penantian Jokowi di lobby ballroom hotel Lumire.

[caption id="attachment_313173" align="aligncenter" width="336" caption="Wawancara Kru Anteve yang sempat saya singgung di tulisan"][/caption]

Sebagai praktisi pendidikan, dapatlah memahami luka macam apa yang timbul di hati anak-anak Widji Tukul. Terlalu menyakitkan kehilangan ayah di usia 8 tahun tanpa pernah tahu di mana rimbanya. Plus cap anak buron dan penjahat.

Pada usia lebih dini, mbak Wani, ia menyebutkan namanya, adalah seorang anak yang senang menggambar. Widji Tukul ayahnya, digambarkannya sebagai ayah yang "Profesional". Ayah yang mengutamakan anak-nya di antara semua kesibukannya yang kadang memang jarang pulang. Sesibuk-sibuknya bahkan bersama mesin ketiknya kala membuat karya, Widji Tukul, ia selalu siap mengutamakan, dan mendengarkan anaknya. Sebagai anak, ia mengenangnya sebagai ayah yang tidak pernah jahat pada anak, ayah yang bisa menjawab pertanyaan anaknya.

Dalam balutan kaus melawan lupa, mbak Wani menjawab pertanyaan reporter dadakan kompasiana, yang merebut kesempatan setelah reporter ANteve. "Cak Munir sudah mati, masa sih ada lagi yang mau dihilangkan ke depannya, itu kan ya bodoh sekali," ungkapnya pada reporter ANteve, yang tertangkap video saya.

Sungguh membingungkan bagi anak usia 8 tahun mendapat pertanyaan dan pernyataan, "Kamu anak penjahat". Sebagai anak usia 8 tahun, mungkin mbak Wani tak tahu apakah ibunya harus berhutang seandainya bapaknya tidak mampu mencukupi kehidupan rumah tangga. Ia tak tahu apakah ayahnya mampu atau tidak membiayai keluarga. Masih terlalu kecil. Namun rasa kehilangan, itu bisa dirasakan.

Ia menjelaskan dari seni menggambar yang diminatinya dan sempat difasilitasi orang tuanya ia akhirnya menjadi penyair yang menulis puisi-puisi mengenai ketidak adilan. Bahwa luka kehilangan orang tua itu membekas sampai saat ini, ia menuturkannya. Ia menuturkan pernikahannya yang lebih menjadi upaya menyembuhkan diri dari rasa kehilangan ayah. Saat ini ia menjadi aktivis IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) yang sesekali terlibat saat band adiknya diundang dan ikut membacakan puisi. Selain itu ia juga baru saja melahirkan anak pertamanya, yang saat ini berusia 3 bulan.

[caption id="attachment_313174" align="aligncenter" width="448" caption="Mbak, foto bareng ya, kata saya. Oke. kata mbak Wani."]

14040079332048326780
14040079332048326780
[/caption]

Ia menceritakan adiknya yang sempat menyayat-nyayat dirinya sendiri karena gangguan rasa kehilangan. Ia menceritakan ibunya yang karena tekanan akhirnya sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Bahkan berkisah tentang dirinya sendiri yang putus kuliah dari Universitas Sanata Dharma, karena keluarga. Sedih,... menyayat hati, jika kita punya hati. Bukan semata politik. Apakah kita peduli?

Salam edukasi,

Maria Margaretha. (mau upload videonya ngga tahu caranya) Ditulis: 29 Juni, wawancara 26 Juni 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun