Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jakarta Indonesia Mini di Tabula Rasa

27 September 2014   16:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:17 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tabula Rasa. Ketika di ruang guru saya menyebutkan rencana saya menonton bersama kompasianers film Tabula Rasa, seorang guru menimpali, film pendidikan ya? (Tabula Rasa itu nama teori John Locke di kalangan pendidik) Saya bilang mungkin. Sebab saya lebih ingin mempelajari film ini saat menontonnya.

Dalam informasi awal dijelaskan bahwa acara menonton bareng hari ini 26 September 2014 akan dimulai jam 8 malam. Yakin bisa mengatur waktu nanti seusai memberikan les privat, saya mendaftar. Saat dihubungi mbak Reza melalui telepon jam 1  siang konfirmasi akan hadir, ternyata jam 2 mbak Ella mengabari bahwa menontonnya jam 7.15. Aduh keburu tidak? Dan jam 16.30 saya ditelpon tidak mendengar, karena sudah mengajar, HP silent, maka saya missed pesan bahwa kumpulnya harus jam 18.30. Untung waktu sampai Pondok Indah Mall jam 7 mas Raja, mbak Wawa dan Mbak Acih masih menunggu dan memberikan tiket. Ditemani seorang kompasianer lain saya memasuki ruangan studio 4.

Di studio 4 sudah banyak kompasianer. Saya melihat Pak Ben ditemani seorang wanita cantik, (ternyata istrinya) juga pak Dian Kelana, dan buru-buru duduk karena baru sadar dilihat banyak orang. Saya duduk bersebelahan dengan Mbak Acih, mbak Wawa, dan seorang kompasianers lain.

Film ini berdurasi sekitar 105 menit ini kaya pelajaran,

1. Kuliner Minang di highlight di fim ini. Pernah belajar masak masakan Minang? Penasaran kan? Belajar memasak makanan Minang ala Dewi Irawan. Mengulek bumbu, memeras santan, memilih bahan. Tahukah kita bahwa makanan Minang bisa lezat dan enak karena kesabaran saat memasaknya? Belum lagi, penekanan bahwa bahan baku lokal yang membuat makanan lebih lezat karena rasanya berbeda dengan yang impor?

Memasak itu seni hati. Bisa dikenali rasanya hanya dengan mencecap sedikit saja. Melihat film ini, mengingatkan kita agar memasak dengan perasaan, dan rasanya sungguh beda.  Nikmati bagaimana si Emak mengajarkan pemain utamanya memasak. Belum lagi, di sini juga ada Papeda lho, kuliner Papua dengan cara makannya yang disruput.

Sudah penasaran? Belum. Ah sayang sekali. Kalau begitu ini pelajaran kedua.

2. Ketulusan memunculkan persamaan. Saat membaca review film ini ada sedikit kebingungan, apa yang menyatukan Emak dengan Hans, persamaan apa? Menurut saya keduanya berbeda. Emak orang Minang, Hans orang Papua. Emak pandai memasak, Hans pandai main bola. Emak orang Muslim, Hans orang Kristen. Emak punya rumah makan, Hans gelandangan, setelah dibuang klub-nya. Persamaan baru saya temukan di pertengahan film ini. Serui (tempat asal Hans) pernah dilanda gempa 2010, Emak kehilangan anaknya, dalam gempa Padang 2009. Bertemunya mereka berdua di Jakarta. Kata Vino, film ini diberi setting Jakarta, karena memang Jakarta ini serupa Indonesia mini, di mana orang berbagai daerah bertemunya di Jakarta.

3. Masih ada orang baik di negeri ini. Melihat emak dengan tulusnya, menolak memberi uang pada Hans, bukan karena tak ada uang, tetapi demi memberi kail, dan akhirnya daripada memberi uang hanya untuk kerja harian, Emak memberi pekerjaan serabutan. Menyenangkan melihat, masih ada orang baik, yang peduli.

3. Masih ada harapan, jika mau berpikir keluar dari kotak. Melihat sudut lain dari masalah yang ada. Tabula Rasa, memang film unik. Endingnya membuat kita semua berpikir, apa tujuan film ini sebenarnya. Menurut Vino, Ending memang disengaja sedemikian untuk memberi ruang pada penontonnya menarik kesimpulan. Pada akhirnya katanya, perubahan arah berjalan Hans, mestinya menjelaskan bahwa Hans siap memulai hidup dengan harapan baru yang lepas dari masa lalu yang kelam. (dibuang dari klub, gelandangan mau bunuh diri, sampai pada tidak ada harapan)

Setelah nonton bareng, Vino Bastian (Asisten Produser film ini) dan Jimmy Kobogau (Pemain Utama-bersama Dewi Irawan yang tidak hadir) memberikan sekitar 20 menit tanya jawab. Mula-mula di dalam ruangan menonton, namun kemudian beralih ke koridor karena studio 4 di mana kami menonton akan digunakan untuk tayangan berikutnya. Sempat seorang bertanya, Papuanya benar dari Serui? Ternyata Jimmy dari Wamena.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun