Dear Diary,
Hari ini sangat kutunggu-tunggu sejak aku mendapatkan email konfirmasi bahwa aku menjadi peserta anjangsana ke Lembaga Sensor Film atau LSF. Penasaran betul. Hal sensor film, sejarah dan tantangannya. Belum lagi, aku juga memikirkan kostum yang sesuai karena kunjungan ini kan ke kantor resmi. Dannnnn.... Tara.... Aku baru sadar kalau aku meninggalkan sepatuku di sekolah. Jadilah, aku harus mampir dulu ke sekolah sebelum akhirnya aku meluncur ke rumah LSF di Gedung F, Lantai 6 Komplek Kemendikbud Jalan Sudirman.Â
Saat aku memasuki Ruang Rapat Anggota LSF, aku melihat ruangan sudah penuh, dan seorang Bapak sedang memperkenalkan diri. Jadi, yang menerima aku dan teman teman Kompasianers/Komikers ada 5 orang. 3 Bapak dan 2 Ibu. Mereka ini berasal dari berbagai komisi dalam LSF. Ada Pak Nasrullah, yang menjadi ketua komisi 1 yaitu bidang penyensoran, ada Bu Wiwid (nama panggilan Ibu Widyastuti Setyaningsih) sebagai ketua subkomisi penyensoran, Pak Andi Muslim, sebagai ketua subkomisi Media Baru, Pak Rommy Fibri Hardiyanto, selaku ketua LSF dan moderator pertemuan Pak Ervan.Â
Dalam anjangsana ini, LSF menjawab berbagai pertanyaan dari beberapa Komikers perihal penyensoran, selain juga menjelaskan bagaimana Lembaga Sensor Film bekerja, dan konten konten yangdiberi catatan sebelum sebuah film yang ditayangkan di layar lebar, layar kaca, maupun festival dapat memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dengan kriteria masing masing.Â
Dear Diary,Â
Aku baru tahu lho, kalau ternyata LSF dan KPI itu mempunyai tugas yang berlainan. Ranah kerja mereka tuh beda. Jadi begini penjelasannya. LSF melakukan pengawasan, dan melakukan sensor film film sebelum ditayangkan, baik film Indonesia maupun film mancanegara dan menetapkan kelompok umur yang sesuai. Sementara KPI, melakukan pengawasan dalam hal penayangan film film tersebut. Selain itu, ada perbedaan pendapat di KPI dan LSF mengenai kelompok usia dewasa. Di LSF, dikategorikan 17 tahun ke atas, sementara KPI mengkategorikan 18 tahun ke atas. Namun demikian, kedua lembaga ini bekerja sama lho.Â
Hal yang paling menarik bagiku adalah paparan dari Pak Nasrullah yang menyebutkan bahwa seyogyanya sensor itu tak hanya dilakukan oleh LSF, namun masyarakat sendiri, yang disebut SENSOR MANDIRI.LSF melakukan sensor berdasarkan batasan kelayakan tayang, yang terdiri dari 5 kriteria sensitif
1. Unsur kekerasanÂ
2. Unsur pornografi
3. Unsur ideologi Pancasila
4. Unsur SARA
5. Unsur hak dan martabat orangÂ
Dalam hal ini yang diteliti meliputi tema, judul, adegan visual, dialog monolog dan teks terjemahannya, sebelum dikeluarkan STLSnya. STLS itu sendiri menyebutkan kelompok usia, durasi tayang, dan ada masa berlakunya.Â
Dalam hal melaksanakan tugaspun, LSF sangat menghargai hak kekayaan inteektual, sehingga pada perkembangannya adegan adegan yang dipandang kurang sesuai dikembalikan pada pemilik film dengan catatan. Apakah pemilik film akan melakukan blur atau memotong adegan tersebut, kembali pada si pemilik.Â
Namun demikian tanggung jawab dalam memilah dan memilih film yang ditonton tetap merupakan tugas dari masyarakat. Jangan sampai menonton film yang tidak sesuai dengan usianya, maupun usia anak, jika menonton film bersama anak. Kesadaran masyarakat unuk melakukan memilah dan memilih tontonan yang layak inilah yang disebut sensor mandiri.Â
Hal ini sesuai dengan pemikiranku.Â
Dear Diary,Â
Kadangkala penggolongan usia yang dilakukan LSF tidak sesuai bagi perorangan. Misalnya, ada film-film yang memicu gangguan mental bagi orang tertentu, tetapi, tidak memicu pada orang lain. Jadi sesuailah ini untuk kita melakukan sensor mandiri.Â
Makanya ya, dalam lanjutan anjangsana di LSF ini, aku kabur gak jadi menonton cuplikan adegan adegan yang diberi catatn oleh LSF karena yah.... daripada ketrigger kan?Â
Tapi aku senang banget bisa mengikuti anjangsana ke LSF ini. Aku jadi semakin yakin dan ingin mengajak circle of influence aku untuk melakukan Sensor Mandiri ini. Yah, sebagaimana disebutkan Pak Andi Muslim bahwa LSF ini ranah kerjanya tidak mencakup layar layar digital seperti yang tayang di internet. Belum ada payung hukumnya sih.Â
Nah itulah pengalaman aku beranjangsana ke LSF bersama KOMIK, Diaryku.Â
Aku pengen jadi penonton yang cerdas yang mampu memilah dan memilih film film yang baik buat diriku sendiri.Â
Mudah-mudahan makin banyak penonton cerdas sepertiku ya.Â
Salam cerdas menonton.Â
Maria Margaretha
#edisilupapostingÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H