International School, National Plus dan Sekolah Nasional
Oleh: Maria Margaretha
Memperhatikan berbagai diskusi mengenai pendidikan di Indonesia, saya sedikit tergelitik. Sebagai praktisi tentunya. Selama mengajar, saya beruntung mencicipi berbagai bentuk sekolah. Boleh dibilang setiap tahun pindah sekolah. Bagi beberapa orang, kesannya saya tidak betahan. Tapi, saya tidak melihat gelas setengah kosong itu. Saya melihatnya, setengah isi. Kesempatan belajar, berbagai ragam kurikulum.
Pertama kali mengajar, saya baru selesai S-1 Pendidikan Agama Kristen di Yogyakarta. Belum punya ijazah resmi, tapi diterima di sekolah swasta Kristen yang lumayan terkenal di Jakarta Pusat. Kok bisa? Kayak mujizat doa. Jadi percaya saja dengan usaha dan doa pasti makbul. Hehehehe…
Sekolah ini berkurikulum nasional. Saya mengajar subjek, Agama Kristen untuk TK dan SD kelas 1 dan 2. Jelas, sebagai guru agama, sentuhan saya dengan kurikulum hanyalah sebatas kurikulum agama. Lalu kontrak saya habis dan tidak diperpanjang, sehingga saya mulai lagi di sekolah lain. Kali ini, sekolah swasta umum yang sangat minim, dengan guru-guru yang rata rata tamatan SPG. Saya satu-satunya S-1. Diminta menjadi walikelas untuk anak kelas 1-2. Kelas 1 masuk jam 07.00-09.30 dan kelas 2 masuk pukul 10.00- 12.30 siang. Kurikulum? Nasional. Asal saya bisa memahami materi di buku cetak, kayaknya mengajar tidak menjadi masalah besar. Saya memadukan antara latihan menulis, dan latihan membaca serta mengajak anak-anak saya memiliki karakter yang baik. Kebetulan, saya pernah mendapat pelatihan pendidikan karakter, dan saya juga guru agama. Namun serba terbatas. Tahun berikutnya, sebagai satu-satunya guru kelas berijazah S-1, dipaksa menjadi wali kelas 5. Paniklah saya. Saya ini guru agama, bukan walikelas. Salah satu guru SPG bahkan bilang, “tahu apa kamu, biar S-1 kamu itu kan S-1 agama?“ Ciut kan? Saya memang kurang menguasai ke SD-an. Tetapi, saya dekat dengan murid dan bisa menundukkan orang tua. Orang tua yang berorientasi peringkatpun, takmampu berargumentasi dengan saya. Saya sakit, keluar dar sekolah itu dan…
Eh, kebetulan ada rejeki saya bisa kuliah PGSD di UNIKA Atmajaya, Jakarta. Reguler. Kuliah tiap hari jam 2-8 malam. Jadi, saya membagi waktu saya sedemikian rupa. Tahun kedua saya di PGSD saya diterima mengajar di SD swasta dengan kurikulum nasional plus. Apa sih Nasional plus itu?
Nasional plus mengajarkan saya bahwa bahasa menjadi nilai plus. :D Bahasa Inggris. Saya mengajar matematika dalam bahasa Inggris dan Mengajar juga bahasa Indonesia di kelas 2. Plusnya? Selain bahasa, konsep mengajar sedikit berbeda. Demonstrasi lebih banyak dan memberi kesempatan peserta didik dengan mengeksplorasi kemampuan mereka. Misal, mengajar berat benda, bawa gantungan baju, jelaskan konsep kesetimbangan dengan kesejajaran. Kalau sejajar itu beratnya sama. Lebih menarik memang buat murid-muridnya, tapi repot, gurunya yang repot.
Berikutnya sekolah nasional lagi, tapi konsepnya activelearning. Enaknya di sekolah yang nasional plus dan sekolah ini murid saya hanya 24-25 anak. Standar UNESCO saya dengar, agar interaksi pembelajaran bisa maksimal. Sekolah nasional ini, walaupun menggunakan kurikulum Indonesia, model belajar aktif-nya benar-benar terasa. Anak tidak harus berseragam setelah jam istirahat, karena setelah bermain pakaian kena keringat boleh ganti pakaian yang nyaman dipakai. Kegiatan belajar lebih variatif, dan disesuaikan dengan gaya belajar anak. Belajar perkalian pakai kelereng. Berhitung satuan puluhan pakai biji-bijian. IPA juga bisa observasi, karena sekolah ini lahannya luas dan bisa dieksplor oleh anak-anak. IPS juga bukan hafalan tapi benar-benar diskusi dan mendorong anak bebas berpendapat. Tidak ada sistem ranking, dan selain raport angka, guru harus membuat raport deskripsi yang jujur saja saat-saat itu saya selalu menangis karena pegal mengetik, mana masih kejar-kejaran dengan jadwal kuliah.
Pemilik merangkap kepala sekolah ini pernah belajar di luar negeri, PHd., sebenarnya dosen, tetapi memilih menjadi dosen tamu supaya bisa focus mengembangkan sekolah ini. (baru tahun kedua waktu saya bergabung. Sekarang sekolah ini sudah punya SMP juga)
Pembelajaran ramah anak, sedikit buku teks banyak buku bacaan. Event-nya bermacam-macam yang kebanyakan mengeksplor kreativitas anak. Wow. Setiap minggu, ada buku dibawakan pulang, anak diberi PR membaca. Orang tua, wajib memberi komentar bagaimana anak membaca. Bahkan memberi masukan bacaan apa yang disukai anak, yang bisa di PR kan minggu berikutnya. Di sekolah ini, anak juga hanya bawa bekal, baju ganti, dan buku yang dibawakan pulang saja. Karena masih nasional, nilai angka masih ada. Tapi dilengkapi deskripsi.
Sayanya ambruk kecapean dan tegangan tinggi karena benar-benar tipe manusia rutin. Bingung mengikuti kreativitasnya.
Keluar karena sakit, kemudian kembali ke sekolah nasional tradisional kali ini. Model kelas 30 anak satu ruangan. Hmmmh lebih tenang. Tamat PGSD saya berkarya di Kalimantan mengajar matematika, dan setelah itu saya diterima di sekolah Internasional saya yang pertama. :D
Di sekolah ini, kreativitas dan keberanian berpendapat anak benar-benar dikelola dengan sungguh. Guru? Hanya fasilitator. Ia bercerita, memberikan tugas-tugas menantang seperti melakonkan peristiwa, mengukur dengan meteran, menghitung dengan benda-benda real dan juga mendesak siswa menuliskan pemikiran mereka, hampir setiap hari. Mendorong mereka bangga dengan hasil-hasil karya mereka, memilih bacaan-bacaan yang menginspirasi. Tidak ada pendapat yang salah. Yang ada hanyalah, pendapat itu bisa diterima atau tidak bisa diterima. Yang ada adalah, mendorong siswa belajar dari cerita, dan kehidupan real. Ada tema-tema penting yang berulang seperti How We Organize Ourselves, yang membahas Community di kelas 2. Dalam pembahasan tema-tema ini, anak-anak di ajak keluar wawancara, dan melakukan aktivitas mengenal lingkungannya, kotanya dan masyarakatnya. Ke pasar, apotik, pantai, masjid, gereja, bank. Kemudian lagi-lagi refleksi. Belajar itu berkaitan dengan bagaimana mereka menyerap apa yang mereka lihat di lapangan.
Pada tema sharing the planet, kelas 2 belajar tentang rubbish, anak diajak mengunjungi tempat penampungan sampah, dan melihat pengelolaan sampah di kota itu. Saya sebagai guru saja belajar, awareness tetrhadap lingkungan dengan kegiatan belajar semacam ini. Kemudian lagi-lagi refleksi. Gambar dan buat ide-ide apa yang bisa dilakukan. Tidak ada ranking di International School, yang ada adalah, apakah anak itu sedang belajar, menunjukkan pengertian dan anak itu mampu dan menguasai materi pada tema atau tidak. Tidak ada angka. Bukti kinerja. Anak-anak yang pemahamannya baik, akan terlihat dari komprehensifnya tulisan yang dibuat, gambar atau karya lain. Setiap penilaian ada kinerja yang melatar belakangi-nya. Tetapi bukan dalam bentuk angka. Penilaian saya bersifat rubrik, observasi dan proses.
[caption id="attachment_290682" align="aligncenter" width="300" caption="Memangnya belajar harus duduk? Anak-anak ini sedang menuliskan refleksi harian mereka."][/caption] [caption id="attachment_290683" align="aligncenter" width="300" caption="mengambarkan ide, bagian dari kegiatan pembelajaran"]
Apa yang membedakan sekolah nasional dengan kurikulum 2013 dan sekolah dengan kurikulum Internasional seperti PYP dan IPC? Hanya bagaimana mengimplementasikannya. Kurikulum seperti PYP dan IPC tidak memberi ruang bagi guru menjadi malas, guru harus mau belajar, berani mengambil resiko dan terus menjadi fasilitator kemajuan anak didiknya. Kadang kala, malah, murid diberi ruang menilai diri-nya sendiri. Apa kamu sudah baik dalam karya ini? Apa yang membuatmu merasa demikian? Dan bagaimana kamu dapat meningkatkannya?
Dalam pembelajaran model begini, guru tak boleh lengah sedetikpun. Anak didampingi secara intens. Sebab itu, rata-rata sekolah international rasio guru muridnya sangat sedikit. 2: 16 atau 2: 20, 2 guru dalam 1 ruang kelas, untuk 16-20 siswa itu sudah maksimal. Karenanya mahal. 2 guru itu rata-rata berbagi waktu menjadi guru utama. Jika guru yang satu mengajar numeracy/matematika, guru kedua mengajar literacy/bahasa. Dengan pelajaran minor seperti sosial/sains yang ditumpangkan ke literacy biasanya. ICT dan Penjas kadang ditumpangkan pada numeracy. Tergantung kesepakatan kedua guru atau guru dan manajemen sekolah. Ada juga yang 2 guru ada yang pegang pelajaran mayor, dia menjadi guru utama, dan yang memegang pelajaran minor adalah asisten/ pendamping. (Saya punya foto bersama partner-partner saya. Tetapi tidak berani mempublish tanpa izin. Mengingat mereka sudah tak lagi di Indonesia dan privacy mereka harus saya hormati)
Anak didik? Mereka terus dimotivasi, terus mengeksplor dalam kelompok kecil yang berbeda, agar dapat belajar membangun kerjasama. Belajar dalam group memberi anak-anak itu kesempatan berinteraksi, menyelesaikan masalah bahkan menjalin kompetisi. Kalah menang bukan masalah. Perilaku menjadi sorotan. Setiap minggu ada student of the week. Mereka yang menunjukkan karakter positif diberi sertifikat dan diberi selamat. Fotonya dipajang di board depan sekolah. Bangga. Tentu.
Memasukkan anak ke sekolah internasional atau nasi0nal plus itu mahal. Usul saya, sekolahkan saja di sekolah biasa, orang tua berpartisipasilah yang baik. Ajaklah anak banyak ngobrol, beri kesempatan menyampaikan pendapat, dukung minat-nya jangan dibatasi. Seorang teman guru pernah bercerita, ia baru bisa membaca kelas 3 SD, lalu kenapa? Ia bisa menyelesaikan sekolahnya sampai S-1 kok. Memangnya harus ya bisa baca dikelas 1 SD? Membangun minat membacalah yang lebih penting. Kalau TK sudah dijejali huruf secara paksa, bukannya bisa membaca, dia malah mual tiap melihat buku. Siapa mau tanggung jawab?Apakah ini penyebab rendahnya minat baca di Indonesia?
Menyekolahkan anak di sekolah internasional, tanpa keterlibatan orang tua itu mustahil. Rata-rata sekolah internasional mengundang orang tua minimal 3 kali setahun. Bisa sampai 6 kali. Keterlibatan orang tua itu diharuskan. Tiap sore membacakan buku cerita yang dikirim dari sekolah. Kalau tidak? Anaknya akan ketinggalan. Sama saja kan? Di sekolah internasional lain, anak-anak diminta membaca buku online di sini, orang tua juga tetap harus mendampingi. Jadi sama-sama harus mendampingi, kenapa pilih yang mahal? Kelebihan lain, karena pelajaran bersifat integral, buku yang dibawa ke sekolah tidak banyak.
Pilih yang dekat rumah, agar bisa punya waktu ekstra berinteraksi di pagi hari, mengurangi stress di jalan, memberi waktu cukup buat anak istirahat. Tidak perlu menuntut nilai tinggi, asal mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM), tidak usah les pelajaran lagi. Kalau nilainya sudah KKM, beri saja les apa yang jadi minatnya. Suka olahraga? les tenis/bulu tangkis/renang/catur,dll. Suka seni, les balet/tari/drama. Suka cooking, asyik ajak saja masak bersama. Dijamin, anak akan jadi bahagia dan pada akhirnya belajar bukan lagi sesuatu yang mengerikan tetapi kebutuhannnnnnn gitu lho. Jangka panjang? Tidak ada lagi anak yang tawuran, bullying, ataupun tegang. Itulah Kurikulum Nasional + Pendampingan orang tua.
Semua sekolah ini ada di Indonesia. Nah,… apalagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H