Tahun 2011 awal, saya mengikuti kuliah family therapy, sebagai prasyarat kelulusan master of art di STT Jaffray. Dalam perkuliahan ini, saya merasa sedikit tersinggung dengan dosennya, karena, saya merasa kehidupan melajang itu diremehkan. Ketersinggungan saya ini membuat saya berubah haluan. Tadinya mau menuliskan tugas akhir mengenai konseling pada anak-anak (saya bekerja di dunia anak-anak, di sekolah dasar dan melayani anak usia dini di gereja), jadinya menulis tentang tantangan hidup melajang di atas usia tigapuluh tahun. Kebetulan, ada beberapa kawan kuliah yang usianya sudah melebihi tiga puluh tahun dan masih sendiri. Saya tidak menulis tentang teman-teman saya yang ikut kuliah itu, tetapi mendapat narasumber sendiri. Ini, sekelumit kisahnya (ditulis 2011, catatan: Belum menikah hingga saat ini)
Rima adalah seorang wanita lajang berusia 37 tahun. Ia bekerja sebagai karyawan administrasi di suatu perusahaan lokal di Jakarta Barat. Ia telah bekerja selama kurang lebih 5 tahun. Ia adalah lulusan dari perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta. Ia lahir dan dibesarkan di Jakarta Barat. Ia mulai bekerja tidak lama setelah menyelesaikan studi sarjananya. Ia beragama Kristen dan aktif ke gereja.
Ia bersedia membagikan pergumulan masa lajangnya dengan pernyataan bahwa seandainya ia memiliki pasangan tentulah ada seseorang yang dapat diajaknya berbagi perasaan dan kegalauannya. Ia mengakui bahwa ia merasa terkadang sendirian dalam menghadapi pergumulan hidupnya
Rima menceritakan bahwa ia bersyukur orang tuanya tidak mendesaknya untuk menikah dan tidak banyak orang yang menanyakan status pernikahannya. Ia mengakui menikmati masa lajang, karena ia memandang bahwa pernikahan juga belum tentu membahagiakan. Ia mengisahkan saudaranya yang bercerai dan kemudian menikah kembali padahal telah memiliki anak. Ia sangat sedih saat hal itu terjadi, terutama karena perceraian adalah hal yang tidak diharapkan orang tuanya.
Rima sangat dekat dengan orang tuanya. Ia biasa berbagi cerita dengan ayah dan ibunya. Rima masih tinggal bersama ayah dan ibunya. Ia juga dekat dengan keponakan-keponakannya. Ia biasa menghabiskan waktu senggangnya bersama keluarganya.
Rima pergi ke gereja setiap minggu dan menikmati persahabatan dengan teman-teman di gerejanya.
Rima menyatakan ia mempunyai beberapa keuntungan dari status lajangnya. Ia dapat pergi dan melakukan perjalanan wisata yang diinginkannya bersama sahabatnya. Ia juga menikmati waktu-waktu bersama orang tuanya dan keponakan-keponakannya. Bahkan Rima bisa pergi bersama teman-temannya dengan bebas.
Rima mengatakan bahwa ia masih ingin menikah, karena ia merindukan seseorang yang dapat menjadi tempat berbagi dan menjalani hidup bersama. Ia hanya tidak ingin terburu-buru karena usia. Ia memutuskan menanti orang yang tepat. Rima memiliki beberapa teman dekat dari gereja, kelompok sel, dan bekan teman-teman kuliahnya. Rima merasa teman-temannya ini juga memberinya banyak dukungan pada saat ia membutuhkannya.
Bagi beberapa orang, sendiri adalah kemewahan. Kita dapat mengatur waktu kita sendiri dan mengelola-nya sesuai kesenangan kita. Seorang penulis, bebas menulis kapan saja, karena tidak ada keluarga yang harus diurusi. Seorang pembaca (seperti saya) bebas menggunakan waktu senggang untuk membaca. Seorang pekerja bebas bekerja tanpa dibatasi waktu kecuali kekuatan fisik tentunya. Seorang pembelajar bisa sekolah lagi dan belajar terus tanpa harus memusingkan kecukupan susu anak, biaya sekolah anak, listrik atau cicilan rumah.
Bandingkan dengan seorang ibu. Penulis ibu rumah tangga, tentu harus mengatur kapan bisa menuangkan pikirannya. Kalau menulis di Kompasiana yang sering error dan sekarang mobile-nya susah banget, boros pulsa, semakin menjengkelkan pula. Saya tidak bisa merasa kecewa, atau sedih kalau penulis kesayangan saya tidak muncul gara-gara errornya KOMPASIANA. (walaupun tidak menghalangi keisengan saya memprotes, Ha...ha..ha.) Tetapi, tentu saja ini karena adanya hal-hal lain selain menulis. Keluarga itu utama. Bukan kesenangan kita. Jangankan seorang ibu, wanita lain yang sudah berumahtangga tidak mudahpun mengeksplore kesenangannya. Teman saya yang suka jalan-jalan, setelah berumah tangga, sedikit-sedikit bilang, gimana ya, siapa nanti yang ngurusin keperluan suami saya? Nah, kan? Karena, keluarga harus jadi yang utama.
Saya hanya bisa menyetujui bahwa memang, "dengan kesendirianmu, kamu memiliki kendali penuh atas waktumu. Bukankah itu suatu kemewahan?"