Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mahasiswa TC UPH dan Kesan Saya

22 Februari 2014   17:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Akhirnya, 3 Minggupun Selesai

Oleh Maria Margaretha

Bagaimana rasanya menjadi artis dadakan? Saya lupa. Saya pernah menjadi artis dadakan dulu, dulu sekali waktu praktek mengajar di SMP Kristen Widya Wacana, tahun 2000-an. Kali ini, artis dadakannya adalah mahasiswa TC UPH yang praktek mengajar di sekolahku.

[caption id="attachment_296797" align="aligncenter" width="300" caption="Miss, aku dapat tanda tangan miss Margaretha (mahasiswa TC dari Kupang)"][/caption] [caption id="attachment_296798" align="aligncenter" width="300" caption="Ms. Asnath menanda tangani buku muridku. "][/caption] [caption id="attachment_296799" align="aligncenter" width="300" caption="Kerumunan siswa minta tanda tangan mengurung ke 3 mahasiswa TC di halaman sekolah"][/caption] [caption id="attachment_296800" align="aligncenter" width="300" caption="Ms. Vilia dikerumunin siswa dari berbagai kelas."][/caption] [caption id="attachment_296801" align="aligncenter" width="300" caption="Ms. Lodya sedang berbagi tanda tangan. "][/caption] Setelah photo session bersama guru-guru, kali ini anak-anaklah yang menyerbu mereka. Saya hanya memberi tahu siswa saya bahwa kemarin adalah hari terakhir mereka di sekolah kami. Mereka akan kembali ke kampus, untuk melanjutkan kuliah teori yang masih belum tuntas tentunya. Saya menyarankan, kalau anak-anak menyukai mereka, salamilah dan beri ucapan sampai ketemu lagi yang sepantasnya.

Saya tidak tahu ide siapa itu tiba-tiba mereka berebut meminta tandatangan, bukan hanya kelas saya tetapi juga semua kelas, dan dengan bangga saat berpapasan mengatakan, "Miss, aku dapat tanda tangan kelima-limanya".

Aku hanya bisa bengong. Buat apa tanda tangan itu? Orang tua murid yang menjemput juga terbengong-bengong. Mau buat tukar sembako ngkali? Kata salah satu orang tua yang terdengar di telingaku. Lucu.

Namun, itulah anak-anak. Mereka punya idenya sendiri dan juga tidak memikirkan makna-nya.

Kehadiran mahasiswa TC UPH di sekolah kami, kemarin menjadi hari terakhir setelah 3 minggu berlalu dengan cepat. Minggu pertama berlalu hanya 4 hari karena kami sedang libur tahun baru Imlek, (mereka datang dan pulang dengan tangan hampa dan hari pertama adalah hari yang bukan main karena sekolah banjir, sehingga KBMpun tak efektif.

Pada hari pertama itu sempat aku merasa resah, karena entah kenapa rasanya terintimidasi sekali dengan kehadiran mahasiswa-mahasiswa ini, saat aku mengajar. Rasanya seperti disupervisi oleh kepala sekolah. Ini perasaanku lho ya. Jujur pula.

Tetapi semakin jauh hari berjalan, aku kemudian memasuki pemikiran baru, bahwa untuk bisa mengajar, mereka memerlukan gambaran dari guru-guru yang sudah mengajar, seperti aku dan guru lainnya. Bahkan akupun selalu senang jika bisa melihat orang lain mengajar, agar aku mendapat bayangan seperti apa mengajar kelas itu, sebelum aku memasuki kelas sesungguhnya.

Memang, menjalani praktikum di sekolahku berbeda dengan di sekolah-sekolah seperti Lentera Harapan atau Dian Harapan. Aku pernah di Sekolah Dian Harapan, sehingga aku tahulah walau tak sebanyak guru guru di sana keadaan belajar mengajar di sana. Membayangkan sekolah Dian Harapan saja, aku bisa membandingkannya dengan sekolahku sekarang. Mengingat mahasiswa praktikum TC UPH ini memang sebelumnya untuk masa praktikum yang lebih singkat pernah praktikum di Dian atau Lentera.

Ah, aku juga menyadari belum sempurna dalam mengajar. Ada hal-hal yang aku tahu lebih efektif baik, tak bisa kuterapkan karena kondisi dan situasi di tempat mengajar saat ini sehingga kreativitas menyesuaikan diri diperlukan.

Di Dian Harapan, mau menyusun kursi model apa? U? grouping? Atau pair? Semua bisa. Kelas luas dan isi hanya 24-25 anak. Aku bisa punya reading corner di Dian Harapan. Kalau di sekolahku? Kelasku sekarang saja 34 anak.

Di Lentera aku tidak tahu. Kalau membayangkan Lentera adalah salah satu sekolahnya Yay. Pend. Pelita Harapan, mungkin juga jumlah siswa perkelasnya tidak sebanyak seperti di kelasku sekarang.

Di negeri mungkin lebih parah daripada di swasta menurut saya. Dari kisah anak-anak sanggar, saya melihat masih ada guru yang main tangan dengan muridnya. SD lho. Saya saja masih bisa menggunakan mulut dalam mengatur anak-anak ini. Paling top sekali kalau suara saya sedang bermasalah karena radang tenggorokan, penghapus bicara, dengan diketukkan ke papan tulis. Tapi, sangat jarang ini terjadi. Jurus lipat tangan saya masih bisa bekerja seringnya. Kalau guru sekolahnya main tangan sampai biru dicubit atau jewer,… adik-adik mahasiswa TC ini bisa shocking banget barangkali. Melihat saya dan teman-teman yang pukul meja dengan penghapus saja kaget. Hehehe.

[caption id="attachment_296802" align="aligncenter" width="300" caption="Memberi salam perpisahan pada guru-guru dengan seuntai lagu, Thank You Jesus. "][/caption] [caption id="attachment_296803" align="aligncenter" width="300" caption="Lagu yang mengakui berhasilnya mereka menuntaskan masa 3 minggu praktikum adalah pertolongan TUHAN. Bukan dengan kekuatan sendiri."][/caption] JURUS LIPAT TANGAN ini entah mereka tahu atau tidak. Saya biasa memakainya kalau kelas sudah kehilangan perhatian. Saya belajar dari Sulis, teman pelayanan di gereja dengan sejumlah modifikasi. Saya angkat tangan keatas tanpa suara lalu merentangkan ke samping dan melipatnya. Biasanya jurus ini pakai hyat..hyat gitu. Tapi malas nanti lebih ribut lagi malah. Jadi saya komando saja “hands up, hands side, hands closed, closed mouth”. Aman…   Alias anak anak langsung memperhatikan kembali. KAdang juga “eyes on me” mereka juga bukan hal baru. Memang modifikasi strategi ini selalu penting. Asal jangan menyerah saja, dengan keadaan kelas.

Seorang teman di PGSD Atmajaya pernah melakukan tugas mengajar di Papua, aku lupa tepat tempatnya. Ia bercerita dalam 1 ruangan kelas dipakai belajar 2-3 kelas, karena kurangnya guru. Aku membayangkan kalau teman-teman itu bisa pusing sekali dengan keributannya. Belum lagi, bahwa anak usia kelas 4 belum bisa membaca. Sungguh repot tentunya jika terjun di sekolah seperti itu. Inilah carut marut sistem pendidikan kita. Bukan, dan jangan salahkan situasi, karena itulah pilihan saya. Saya memutuskan untuk berjuang semampu saya, sebisa saya, demi pendidikan yang lebih baik.

Beberapa hal yang saya lihat diterapkan di kelas saya sebenarnya bukan hal baru buat saya yang sudah keliling banyak sekolah. Hand signal, tepuk menenagkan, biasa juga saya pakai di sekolah minggu. Memberi kesempatan anak presentasi bukan dengan tunjuk tangan tetapi dengan memilih chopstick juga saya pernah pakai. Hanya saja, dengan segala kerepotan saat ini event dan koreksi dan administrasi, semua ini berlalu.

Menyaksikan kalian mengajar, sekali lagi saya merasa, itu sesuatu sekali. Merefresh ingatan saya pada hal-hal lama yang nyaris ditelan kesibukan. Kehadiran kalian, mengingatkan saya pada masa-masa praktikum saya sendiri. Saya melakukan kegiatan mengajar dengan rutin sampai lupa manfaat apa-apa yang saya lakukan. Seperti memutar posisi belajar. 10 menit pencil and paper work, 15 menit discussion di lantai, kembali ke paper and pencil di meja dan silent reading if you done all. Ini berguna untuk membuat anak tetap focus, dan memberi anak kesempatan bergerak/berpindah. Memerinci kegiatan belajar juga sudah terlupakan. Karena memang ingatan sudah lebih pendek.

Kehadiran mereka walau hanya 3 minggu memberi pengaruh. Sesingkat apapun pengaruh itu tinggal nantinya, tetap saja spesial.

Saya ini hanya guru biasa di usia saya yang sudah kepala 3. 4 atau 5 tahun lagi, kalau masih mampu, akan terus mengajar, entah disekolah yang sama atau tidak, tapi, mereka adalah calon-calon penerus saya, dan teman-teman yang lebih tua. Sekali lagi, doa dan harapan saya, tamat dari UPH benar-benar menjadi guru. Tidak beralih profesi, apapun yang terjadi. Karena masa depan anak Indonesia, ada di tangan kita semua, para guru. Selamat berjuang.

Sudah dulu ya, ini workbook Bahasa Inggris dan booklet English Composition masih belum dikoreksi, soal midsemester tematik dan Bahasa Inggris harus dibuat, dan minggu depan ini kami ada parents meeting yang perlu dibuatkan presentasi.

Salam dari saya,

MARIA MARGARETHA

Ps: Setelah lewat semalam, saya mendapatkan kesimpulan. Bahwa anak-anak meminta tanda tangan sebagai kenang-kenangan. Mungkin suatu hari nanti anak-anak ini akan menjadi penerus-penerus mahasiswa TC UPH itu? Who Knows?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun